Jumat, 30 September 2011

GANGGUAN VOLUME CAIRAN AMNION

EMBRIOLOGI KAVUM AMNION
Amnion : selaput tipis pada hasil konsepsi yang terbentuk mulai hari ke 8 pasca konsepsi dan membentuk kantung kecil yang menutupi permukaan dorsal ‘embryonic disc”. Secara bertahap menyelubungi embrio yang tumbuh.
Cairan amnion : cairan yang berada dalam kavum amnion

image
DINAMIKA CAIRAN AMNION
Pengaturan volume cairan amnion adalah proses dinamis yang mencerminkan keseimbangan antara produksi dan absorbsi cairan


PRODUKSI CAIRAN :
Pada usia < 8 minggu, cairan amnion dihasilkan oleh transudasi cairan melalui amnion dan kulit janin
  • Pada usia 8 minggu, janin mulai menghasilkan urine yang masuk kedalam rongga amnion. Urine janin secara cepat menjadi sumber utama produksi cairan amnion. Saat menjelang aterm, janin menghasilkan 800 – 1000 ml urine
  • Paru janin menghasilkan sejumlah cairan ± 300 ml per hari saat aterm, namun sebagian besar ditelan sebelum masuk ruang amnion.

image
ABSORBSI CAIRAN :
  • Pada usia kehamilan < 8 minggu, cairan amnion transudatif direabsorbsi secara pasif
  • Pada usia kehamilan 8 minggu, janin mulai melakukan proses menelan. Proses ini secara cepat akan menjadi mekanisme utama absorbsi cairan amnion. Menjelang aterm, melalui proses menelan terjadi absorbsi cairan sebesar 500 – 100 mL per hari
  • Absorbsi cairan amnion dalam jumlah sedikit juga terjadi melalui selaput amnion dan masuk kedalam aliran darah janin. Menjelang aterm , jalur ini melakukan absorbsi sebesar 250 ml.
  • Sejumlah kecil cairan amnion melintas membran amnion dan masuk ke aliran darah ibu sebesar 10 ml per hari pada usia kehamilan menjelang aterm.

PERUBAHAN VOLUME CAIRAN AMNION SELAMA KEHAMILAN :  Pada usia kehamilan 34 minggu, volume cairan amnion mencapai maksmial ( 750 -800 mL) dan setelah itu akan menurun sehingga pada usia kehamilan 40 minggu, volume cairan amnion ± 600 ml. Dan melewati usia 40 minggu, jumlah cairan amnion akan terus menurun. image  
FUNGSI dan PERANAN CAIRAN AMNION
  1. Sebagai pelindung bagi janin terhadap trauma darim luar
  2. Melindungi talipusat dari tekanan
  3. Memungkinkan pergerakan janin secara bebas sehingga mendukung perkembangan sistem muskuloskeletal janin
  4. Berperan dalam perkembangan paru janin
  5. Melumasi kulit janin
  6. Mencegah korioamnionitis pada ibu dan infeksi janin melalui sifat bakteriostatik
  7. Membantu mengendalikan suhu tubuh janin
PENGUKURAN VOLUME CAIRAN AMNION
 
imagePemeriksaan dengan ultrasonografi adalah metode akurat untuk memperkirakan volume cairan amnion dibandingkan pengukuran tinggi fundus uteri .
Penentuan AFI amniotic fluid index adalah metode semikuantitatif untuk memperkirakan volume cairan amnion.

image  
AFI adalah jumlah dari kantung amnion vertikal maksimum dalam cm pada masing-masing empat kuadran uterus. AFI normal pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu : 5 – 20 cm

ARTI KLINIK VOLUME CAIRAN AMNION Volume cairan amnion merupakan penanda kesehatan janin
  • Volume cairan amnion normal menunjukkan bahwa perfusi uteroplasenta dalam keadaan memadai.
  • Jumlah volume cairan amnuion abnormal berkaitan dengan “outcome”perinatal yang buruk

OLIGOHIDRAMNION  

Batasan: jumlah cairan amnion yang kurang dari normal (kurang dari 300 ml) Angka kejadian: 5 – 8% kehamilan
Diagnosis :
  • Kecurigaan terjadinya oligohidramnion bila tinggi fundus uteri lebih rendah dari yang diharapkan
  • Ultrasonografi :
    • Jumlah cairan amnion < 300 ml
    • Ukuran kantung amnion vertikal ≥ 2 cm tidak ada
    • AFI < 95 persentile untuk usia kehamilan tertentu
    • Pada kehamilan aterm AFI < 5 cm
PENYEBAB :

  • ABSORBSI KURANG atau KEHILANGAN CAIRAN MENINGKAT
    • Ketuban Pecah Dini (50% kasus oligohidramnion)
  • PENURUNAN PRODUKSI AMNION
  • Kelainan kongenital ginjal (agenesis ginjal, displasia ginjal) dan paparan terhadap ACE inhibitor yang akan menurunkan output ginal janin
  • Obstruksi orifisium urethra eksterna janin
  • Insufisiensi uteroplasenta (solusio plasenta, preeklampsia, sindroma postmaturitas) menurunkan perfusi ginjal dan produksi uribne
  • Infeksi kongenital – Defek jantung janin – NTD’s, sindroma twin to twin tranfusion,efek obat NSAID.
PENATALAKSANAAN:
  • Pilihan terapi pada masa antepartum sangat teerbatas, kecuali bila ditemukan defek struktural yang mengindikasikan untuk dilakukan pembedahan janin intrauterin
  • Penentuan saat persalinan tergantung pada usia kehamilan – etiologi dan kesehatan janin.
  • Selama proses persalinan, diberikan infus larutran kristaloid kedalam cavum amnion agar dapat
    • Memperbaiki pola denyut jantung janin
    • Menurunkan kejadian bedah SC
    • Meminimalisir resiko sindroma aspirasi mekonium

PROGNOSIS :
Oligohidramnion berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas pada semua usia kehamilan


KOMPLIKASI:

  • Amniotic Band Syndrome menyebabkan deformitas janin (amputasi atau deformitas muskuloskeletal)) a.l Clubfoot atau sindroma Potter
image
image
image
SINDROMA POTTER :
Sindroma Potter dapat berbentuk “clubbed feet”, Hipoplasia Pulmonal dan kelainan kranium yang terkait dengan oligohidramnion

POLIHIDRAMNION
Batasan: Jumlah cairan amnion lebih dari normal
Angka Kejadian: 0.5 – 1.5% seluruh kehamilan
Diagnosis:
  • Kecurigaan terjadinya polihidramnion ditegakkan bila tinggi fundus uteri lebih dari yang diharapkan untuk usia kehamilan tertentu
  • Ultrasonografi :
    • volume air ketuban > 2 liter
    • Kantung vertikal tungal > 10 cm
    • AFI > 20 cm pada kehamilan aterm atau > 95 persentil untuk usia kehamilan tertentu
PENYEBAB:
  1. Idiopatik (50 – 60% kasus)
  2. Penyebab maternal :
    1. isoimunisasi yang menyebabkan hidrop fetalis imune
    2. Diabetes Melitus
  3. Penyebab janin (10 – 15%):
    1. Hidrop fetalis non imune
    2. Defek jantung
    3. Kehamilan kembar
    4. Kelainan anatomis : obstruksi saluran intestin, deformitas paru, gangguan proses menelan (akalasia, obstruksi esopagus, fistula trakeoesopagus,kelainan SP
    5. Diabetes insipidus
  4. Penyebab plasenta (jarang) : korioangioma plasta

PENATALAKSANAAN
  • Pilihan penatalaksanaan antepartum amat terbatas.
  • Obat NSAID menyebabkan penurunan produksi urine janin namun dapat menyebabkan penutupan dini duktus arteriosus Bottali
  • Amniosentesis memberikan hasil yang sementara
  • Pada saat intrapartum, amniotomi terkendali dapat menurunkan angka kejdian dekompresi mendadak (solusio plasenta, prolapsus talipusat)
KOMPLIKASI :
  • Regangan rahim berlebihan dapat menyebabkan dispnea – edema tungkai bawah – edema vulva
  • Selama persalinan, hidramnion dapat menyebabkan :
    • Kelainan letak,
    • Gangguan proses persalinan atau
    • Perdarahan pasca salin.

Selasa, 27 September 2011

INDUKSI dan AKSELERASI PERSALINAN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Angka tindakan pemberian oksitosin baik dengan tujuan induksi persalinan atau mempercepat jalannya persalinan (augmentation labor atau akselerasi persalinan) meningkat dari 20% pada tahun 1989 menjadi 38% pada tahun 2002.
Pembahasan berikut ini menyangkut deskripsi berbagai tehnik pematangan servik dan sejumlah skema induksi atau akselerasi persalinan.

KONSEP UMUM
INDUKSI PERSALINAN ELEKTIF
Saat ini sudah terbukti bahwa tindakan induksi persalinan semakin sering dilakukan. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a) berdasarkan resiko persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan ini kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (rumah parturien yang jauh dari rumah sakit atau alasan psikososial).
Luthy dkk (2002): Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian tindakan sectio caesar.
Hoffman dan Sciscione (2003): Induksi persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian sectio caesar 2 – 3 kali lipat.
Induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan sectio caesar dapat meningkatkan resiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan out come maternal termasuk kematian.
Induksi persalinan eletif yang dirasa perlu dilakukan saat aterm (≥ 38 minggu) perlu pembahasan secara mendalam antara dokter dengan pasien dan keluarganya.
INDUKSI PERSALINAN ATAS INDIKASI
Tindakan induksi persalinan dilakukan bila hal tersebut dapat memberi manfaat bagi ibu dan atau anaknya.
INDIKASI:
  1. Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis
  2. Pre-eklampsia berat
  3. Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan
  4. Hipertensi dalam kehamilan
  5. Gawat janin
  6. Kehamilan postterm









KONTRA INDIKASI:
  1. Cacat rahim ( akibat sectio caesar jenis klasik atau miomektomi intramural)
  2. Grande multipara
  3. Plasenta previa
  4. Insufisiensi plasenta
  5. Makrosomia
  6. Hidrosepalus
  7. Kelainan letak janin
  8. Gawat janin
  9. Ragangan berlebihan uterus : gemeli dan hidramnion
  10. Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:
    • Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit)
    • Infeksi herpes genitalis aktif
    • Karsinoma Servik Uteri

PEMATANGAN SERVIK PRA INDUKSI PERSALINAN
Tingkat kematangan servik merupakan faktor penentu keberhasilan tindakan induksi persalinan.
Tingkat kematangan servik dapat ditentukan secara kuantitatif dengan “BISHOP SCORE” yang dapat dilihat pada tabel 1
Nilai > 9 menunjukkan derajat kematangan servik yang paling baik dengan angka keberhasilan induksi persalinan yang tinggi
Umumnya induksi persalinan yang dilakukan pada kasus dilatasi servik 2 cm, pendataran servik 80% , kondisi servik lunak dengan posisi tengah dan derajat desensus -1 akan berhasil dengan baik.
Akan tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik yang tidak “favourable” ( Skoring Bishop < 4 ) untuk dilakukannya induksi persalinan.

Tabel 1 Sistem Skoring Servik “BISHOP” yang digunakan untuk menilai derajat kematangan servik
Sistem Skoring Servik

METODE PEMATANGAN SERVIK MEDIKAMENTOSA
Prostaglandine E2
Dinoprostone lokal dalam bentuk jelly ( Prepidil ) yang diberikan dengan aplikator khusus intraservikal dengan dosis 0.5 mg.
Dinoproston vaginal suppositoria 10 mg (Cervidil).
Pemberian prostaglandine harus dilakukan di kamar bersalin.
Pemberian oksitosin drip paling cepat diberikan dalam waktu 6 – 12 jam pasca pemberian prostaglandine E2.
Efek samping: Tachysystole uterine pada 1 – 5% kasus yang mendapat prostaglandine suppositoria.

Prostaglandine E1
Misoprostol (Cytotec) dengan sediaan 100 dan 200 µg.
Pemberian secara intravagina dengan dosis 25 µg pada fornix posterior dan dapat diulang pemberiannya setelah 6 jam bila kontraksi uterus masih belum terdapat.
Bila dengan dosis 2 x 25 µg masih belum terdapat kontraksi uterus, berikan ulang dengan dosis 50 µg.
Pemberian Misoprostol maksimum pada setiap pemberian dan dosis maksimum adalah 4 x 50 µg ( 200 µg ).
Dosis 50 µg sering menyebabkan :
  • Tachysystole uterin
  • Mekonium dalam air ketuban
  • Aspirasi Mekonium
Pemberian per oral: Pemberian 100 µg misoprostol peroral setara dengan pemberian 25 µg per vaginam

METODE PEMATANGAN SERVIK MEKANIS
  1. Pemasangan kateter transervikal
  2. Dilatator servik higroskopik ( batang laminaria )
  3. “stripping” of the membrane

Pemasangan kateter Foley transervikal.
image
Tidak boleh dikerjakan pada kasus perdarahan antepartum, ketuban pecah dini atau infeksi.
Tehnik:
  • Pasang spekulum pada vagina
  • Masukkan kateter Foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam tampon.
  • Pastikan ujung kateter telah melewati osttium uter internum
  • Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
  • Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
  • Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam
  • Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
 
Dilatator servik higroskopik
Dilakukan dengan batang laminaria.
Dilakukan pada keadaan dimana servik masih belum membuka.
Pemasangan laminaria dalam kanalis servikalis.
12 – 18 jam kemudian kalau perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin sebelum kuretase.
clip_image002[4]
Gambar 1:
  1. Pemasangan laminaria didalam kanalis servikalis
  2. Laminaria mengembang
  3. Ujung laminaria melebihi ostium uteri internum (pemasangan yang salah)
  4. Ujung laminaria tidak melewati ostium uteri internum (pemasangan yang salah)
Stripping of the membrane”
image
Metode efektif dan aman untuk mencegah kehamilan posterm.
Menyebabkan peningkatan kadar Prostaglandine serum.

INDUKSI &amp; AKSELERASI PERSALINAN
Dilakukan dengan menggunakan oksitosin sintetis.
Induksi persalinan dan akselerasi persalinan dilakukan dengan cara yang sama tapi dengan tujuan yang berbeda.

Induksi Persalinan (induction of labour): merangsang uterus untuk mengawali proses persalinan.
Akselerasi Persalinan (augmented of labour) : merangsang uterus pada proses persalinan untuk meningkatkan frekuensi – durasi dan kekuatan kontraksi uterus [HIS].
Pola persalinan yang BAIK adalah bila terdapat 3 HIS dalam 10 menit dengan masing-masing HIS berlangsung sekitar 40 detik.
Bila selaput ketuban masih utuh, dianjurkan bahwa sebelum melakukan induksi atau akselerasi persalinan terlebih dahulu dilakukan Pemecahan Selaput Ketuban (ARM ~ Artificial Rupture of Membranes atau amniotomi)
AMNIOTOMI
Pecahnya selaput ketuban (spontan atau artifisial ) akan mengawali rangkaian proses berikut:
  • Cairan amnion mengalir keluar dan volume uterus menurun;
  • Produksi prostaglandine, sehingga merangsang proses persalinan;
  • HIS mulai terjadi (bila pasien belum inpartu) ; menjadi semakin kuat ( bila sudah inpartu)

Tehnik :
image

Perhatikan indikasi!!
  • CATATAN : Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, pertahankan selaput ketuban selama mungkin untuk mengurangi resiko penularan HIV perinatal
  • Dengar dan catat DJJ
  • Baringkan pasien dengan tungkai fleksi dan kedua tungkai saling menjauh dan kedua lutut terbuka
  • Gunakan sarung tangan steril, lakukan VT dengan tangan kanan untuk menilai konsistensi – posisi – dilatasi dan pendataran servik
  • Masukkan “amniotic hook” kedalam vagina
  • Tuntun “amniotic hook” kearah selaput ketuban dengan menyusuri jari-jari dalam vagina
  • Dorong selaput ketuban dengan jari-jari dalam vagina dan pecahkan selaput ketuban dengan ujung instrumen
  • Biarkan cairan amnion mengalir perlahan sekitar jari dan amati cairan amnion yang keluar
  • Setelah pemecahan ketuban, dengarkan DJJ selama dan setelah HIS
  • Bila DJJ < 100 atau > 180 dpm : dugaan terjadi GAWAT JANIN .
  • Bila persalinan diperkirakan TIDAK TERJADI DALAM 18 JAM berikan antibiotika profilaksis untuk mengurangi kemungkinan infeksi GBS pada neonatus:
  • Penicillin G 2 juta units IV; atau Ampicillin 2 g IV, tiap 6 jam sampai persalinan; Bila tidak ditemukan gejala infeksi pasca persalinan, hentikan pemberian antibiotika
  • Bila setelah 1 jam tidak nampak tanda-tanda kemajuan persalinan MULAILAH PEMBERIAN OKSITOSIN INFUS
  • Bila indikasi induksi persalinan adalah PENYAKIT MATERNAL IBU YANG BERAT ( sepsis atau eklampsia) mulailah melakukan infuse oksitosin segera setelah amniotomi.
Komplikasi amniotomi:
  1. Infeksi
  2. Prolapsus funikuli
  3. Gawat janin
  4. Solusio plasenta

TEHNIK PEMBERIAN OKSITOSIN DRIP
  1. Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri
  2. Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik.
  3. Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung janin
  4. Catat semua hasil penilaian pada partogram
  5. 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.
  6. Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat.
  7. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian:
    • Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau
    • Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit
    1. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit:
    2. Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5% (atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit (15mU/menit)
    3. Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit.
    Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi tersebut maka:
    • Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan sectio caesar.
    • Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya yaitu :
      • 10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit
      • Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus adekuat.
      • Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan Sectio Caesar.
    Jangan berikan oksitosin 10 Unit dalam 500 ml Dextrose 5% pada pasien multigravida dan atau penderita bekas sectio caesar
    Rujukan :
    1. Bujold E, Blackwell SC, Gauthier RJ: Cervical ripening with transervical foley catheter and the risk of uterine rupture. Obstet Gynecol 103:18, 2004
    2. Culver J, Staruss RA,Brody S, et al: A randomized trial comapring vaginal misoprostol versus Foley catheter with concurrent oxytocin for labor induction in nulliparous women. Am J Perinatol 21:139, 2004
    3. Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in “William Obstetrics” 22nd ed p 536 – 545 , Mc GrawHill Companies 2005
    4. Guinn DA et al : Extra-amniotic saline infusion, laminaria, or prostaglandine E2 gel for labor induction with unfavourable cervix: A randomized trial. Obstet Gynecl 96:106, 2000
    5. HoffmanMK, Sciscione AC : Elective induction with cervical ripening increase the risk of caesarean delivery in multiparous women. Obstet Gynecol 101:7S, 2003
    6. Saiffudin AB (ed): Induksi dan Akselerasi persalinan dalam “Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal” YBPSP,Jakarta, 2002
    7. Smith KM, Hoffman MK, Sciscione A: Elective induction of labor in nulliparous women increase the risk of caesarean delivery. Obstet Gynecol 101, 45S, 2003

    DIABETES MELITUS dalam KEHAMILAN

    DIABETES GESTASIONAL
    Kehamilan merupakan satu “keadaan diabetogenik” dengan meningkatnya resistensi insulin dan “ambilan glucosa” perifer yang menurun (akibat hormon plasenta yang memiliki aktivitas “anti insulin”.
    Adaptasi ini berlangsung untuk menjamin agar janin dapat menerima asupan glukosa secara kontinyu.
    Angka kejadian : 3 – 5% kehamilan

    KLASIFIKASI :
    image

    KOMPLIKASI MATERNAL:
    • Diabetes Gestasional hanya menimbulkan resiko minimal terhadap ibu. Ibu dengan klasifikasi ini tidak memiliki resiko mengalami ketoasidosis diabetikum akibat defisiensi insulin absolut.
    • Perawatan diperlukan untuk menghindari hipoglikemia iatrogenik akibat pemberian insulin berlebihan
    • Diabetes Gestasional merupakan uji skrining yang baik untuk resistensi insulin ; 50% akan mengalami DG pada kehamilan selanjutnya dan 40 – 60% akan menderita DM dimasa depan.
    KOMPLIKASI JANIN
    • Makrosomia dengan segala akibatnya.
    Diabetes Gestasional :
    Menderita DM saat hamil.
    • Kelas A1 → dikendalikan dengan diet.
    • Kelas A2 → membutuhkan insulin.
    Skrining :
     
    1. “Glucosa Challenge Test” - GCT
    • Dilakukan pada kehamilan 26 – 28 mg
    • Berikan 50 mg glukosa (tanpa puasa)
    • Periksa gula darah 1 jam kemudian :
      • Kadar > 140 mg/dL (tinggi) → Glucosa Tolerance Test
      • Kadar ≥ 200 mg/dL → GDM tipe A1
    2. “Glucosa Tolerance Test” - GTT
    • Dikerjakan bila GCT > 140 mg/dL dan > 200 mg/dL.
    • Ambil gula darah puasa.
    • Beri glukosa 100 g
    • Periksa gula darah 1 jam ( n < 180 ), 2 jam ( n < 155 ) dan 3 jam ( n < 140).
    • GDM [+] bila terdapat nilai positif tinggi 2 dari 4 pemeriksaan gula darah.
    FAKTOR RESIKO
    Lakukan tes skrining pada :
    1. Riwayat GDM dalam keluarga.
    2. Obesitas.
    3. Riwayat melahirkan anak besar/IUFD/kelainan jantung
    PENATALAKSANAAN DIABETES GESTASIONAL ANTEPARTUM:
    • Tujuan utama : mencegah makrosomia dan komplikasinya dengan mempertahankan glukosa darah pada kadar yang diinginkan :
    • Gula darah puasa < 95 mg/dL atau  < 5.2 mmol / L
    • Gula darah 1 jam postprandial < 140 mg/dL atau 7.8 mmol/L
    • Gula darah 2 jam postprandial < 120 mg/dL atau < 6.6 mmol/L
    • Rekomendasi : diet DM
    • Insulin mungkin diperlukan jika kadar gula darah > 95 mg /dL ( > 5.2 mmol/L) ; terapi insulin dmulai segera oleh karena pengaturan diet sulit dilakukan pada ibu hamil.
    • OAD-oral anti diabetik untuk DG masih kontroversi
    PENATALAKSANAAN DIABETES GESTASIONAL INTRAPARTUM:
    • Persalinan SC adalah pilihan yang tepat jika TBJ > 4000 gram
    • Karena sumber primer hormon anti insulin adalah plasenta maka tidak terdapat tata laksana lebih lanjut yang dibtuhkan pada periode segera setelah persalinan
    • Semua ibu dengan DG harus menjalani skrining 6 – 8 mg pasca salin karena memiliki resiko terkena DM diluar kehamilan
    DIABETES PREGESTASIONAL
    Kondisi ini disebabkan oleh defisiensi insulin absolut (insulin dependent diabetes mellitus – IDDM tipe I) atau terjadi peningkatan resistensi perifer terhadap insulin (non-insulin dependent diabetes mellitus –NIDDM tipe II).
    Angka Kejadian : < 1%

    KOMPLIKASI :
    Tidak seperti halnya dengan DG, diabetes pregestasional berkaitan dengan mortalitas dan morbditas ibu dan perinatal yang bermakna:

    KOMPLIKASI DIABETES PREGESTASIONAL PADA IBU
    KOMPLIKASI DIABETES PREGESTASIONAL PADA JANIN
    Kelainan kongenital JANIN akibat DM

    PENATALAKSANAAN ANTEPARTUM DIABETES PREGESTASIONAL :

    PENATALAKSANAAN ANTEPARTUM DIABETES PREGESTASIONAL
    • Penderita seharusnya sudah berkonsultasi dengan dokter sebelum hamil
    • penatalaksanaan antepartum intensif dapat menurunkan mortalitas perinatal menjadi hanya 3 – 5%
    PENATALAKSANAAN INTRAPARTUM dan PASCA SALIN
    • Jika pengendalian metabolik baik, dapat diharapkan berlangsungnya persalinan spontan per vaginam pada kehamilan aterm
    • Jika TBJ > 4000 gram sebaiknya direncanakan persalinan SC
    • Selama proses persalinan ibub tidak boleh makan sehingga harus diberikan cairan glukosa i.v dextrose 5% dengan kecepatan 75 – 100 ml per jam dan kadar gula darah harus diperiksa setiap 2 jam
    • Pemberian insulin regular diberikan per infus atau i.v untuk mempertahankan kadar gula darah sebesar 100 – 120 mg/dL
    • Selama 48 jam pertama pasca salin kebutuhan insulin diperkirakan menurun.  Kadar gula darah yang dapat ditoleransi pada periode ini adalah 150 – 200 mg/dL.

    Senin, 26 September 2011

    RUPTURA UTERI dalam KEHAMILAN

    RUPTURA UTERI dalam KEHAMILAN
    Selayang Pandang
    Ruptura uteri dalam kehamilan merupakan komplikasi yang bersifat katastropik dengan morbiditas maternal dan fetal yang tinggi , namun jarang terjadi. Sejumlah faktor meningkatkan resiko terjadinya ruptura uteri , namun bahkan pada kelompok resiko tinggi, angka kejdian ruptura uteri sangat rendah.
    Gejala dan tanda awal ruptura uteri tidak spesifik sehingga diagnosis sulit ditegakkan dan kadang-kadang menyebabkan tindakan definitif yang terlambat. Sejak diagnosa ditegakkan sampai tindakan, hanya tersedia waktu 10 – 30 menit sebelum morbiditas janin menjadi tak terelakkan. Morbiditas janin terjadi akibat perdarahan dan atau anoksia janin. Tanda yang tak jelas dan terlambat menyebabkan kejadian ruptura uteri ini merupakan episode yang sangat mencemaskan.
    Batasan
    Ruptura uteri dalam kehamilan adalah kejadian yang jarang dan membahayakan jiwa ibu dan atau anak. Dehisensi jaringan parut uterus jarang berlangsung secara total sehingga tidak terjadi perdarahan
    Dehisensi jaringan parut uterus yang terjadi secara total menyebabkan :
    1. Perdarahan uterus yang masif
    2. Gawat janin
    3. Protrusi atau ekspulsi plasenta dan atau janin kedalam rongga abdomen
    4. Tindakan sectio caesar cito dan histerorafi atau histerektomi
    Angka kejadian dan Faktor resiko
    Meta-analisa dari 20 data penelitian sejak 1976 – 2009 menunjukkan bahwa angka kejadian ruptura uteri adalah 1 : 1536 persalinan ( 0.07%). Dari data yang terbatas, terdapat data bahwa angka kejadian ruptura uteri spontan pada uterus yang utuh 1 : 8434 kehamilan (0.012%)
    Kelainan kongenital uterus, multiparitas, riwayat miomektomi dan riwayat persalinan dengan sectio caesar, makrosomia, induksi persalinan, persalinan dengan instrumen dan trauma uterus adalah faktor yang meningkatkan resiko ruptura uteri
    Faktor kehamilan yang meningkatkan resiko ruptura uteri
    • Grabde multipara ( persalinan spontan dengan janin viabel lebih dari 6 kali)
    • Usia ibu
    • Plasentasi (akreta, perkreta dan inkreta serta solusio plaenta
    • Kehamilan di cornu
    • Regangan berlebihan ( hidramnion, gemeli)
    • Distocia ( makrosomia, panggul sempit )
    • Invasi trofoblas pada miometrium (mola hidatidosa, choriocarcinoma)
    • Induksi persalinan
    • Partus macet
    Penanganan obstetri:
    • Instrumentasi (ektstraksi cunam)
    • Manipulasi intrauterin (versi luar dan versi ekstraksi, distosia bahu, plasenta manuil) )
    • Tekanan fundus uteri
    Trauma uterus langsung
    • Kecelakaan lalu lintas
    • Luka tusuk

    VASA PREVIA

    Vasa praevia
    Vasa praevia adalah komplikasi obstetrik dimana pembuluh darah janin melintasi atau berada di dekat ostium uteri internum (cervical os) . Pembuluh darah tersebut berada didalam selaput ketuban ( tidak terlindung dengan talipusat atau jaringan plasenta) sehingga akan pecah bila selaput ketuban pecah. [1]
    image
    Etiologi /Patofisiologi
    Vasa previa terjadi bila pembuluh darah janin melintasi selaput ketuban yang berada di depan ostium uteri internum. Pembuluh darah tersebut dapat berasal dari insersio velamentosa dari talipusat atau bagian dari lobus suksenteriata (lobus aksesorius). Bila pembuluh darah tersebut pecah maka akan terjadi robekan pembuluh darah sehingga terjadi eksanguisasi dan kematian janin.
    image
    Faktor resiko
    Vasa previa lebih sering terlihat pada insersio velamentosa atau lobus aksesorius dan kehamilan kembar .
    Diagnosis
    • Jarang terdiagnosa sebelum persalinan namun dapat diduga bila usg antenatal dengan Coolor Doppler memperlihatkan adanya pembuluh darah pada selaput ketuban didepan ostium uteri internum. [2][3]
    • Tes Apt : uji pelarutan basa hemoglobin. Diteteskan 2 – 3 tetes larutan basa kedalam 1 mL darah. Eritrosit janin tahan terhadap pecah sehingga campuran akan tetap berwarna merah. Jika darah tersebut berasal dari ibu, eritrosit akan segera pecah dan campuran berubah warna menjadi coklat.
    • Diagnosa dipastikan pasca salin dengan pemeriksaan selaput ketuban dan plasenta
    • Seringkali janin sudah meninggal saat diagnosa ditegakkan mengingat bahwa sedikit perdarahan yang terjadi sudah berdampak fatal bagi janin
    Terapi
    Seksio sesar [4][5]
    Rujukan
    1. ^ Yasmine Derbala, MD; Frantisek Grochal, MD; Philippe Jeanty, MD, PhD (2007). "Vasa previa". Journal of Prenatal Medicine 2007 1 (1): 2–13.Full text
    2. ^ Lijoi A, Brady J (2003). "Vasa previa diagnosis and management.". J Am Board Fam Pract 16 (6): 543–8. doi:10.3122/jabfm.16.6.543. PMID 14963081.Full text
    3. ^ Lee W, Lee V, Kirk J, Sloan C, Smith R, Comstock C (2000). "Vasa previa: prenatal diagnosis, natural evolution, and clinical outcome.". Obstet Gynecol 95 (4): 572–6. doi:10.1016/S0029-7844(99)00600-6. PMID 10725492.
    4. ^ Bhide A, Thilaganathan B (2004). "Recent advances in the management of placenta previa.". Curr Opin Obstet Gynecol 16 (6): 447–51. doi:10.1097/00001703-200412000-00002. PMID 15534438.
    5. ^ Oyelese Y, Smulian J (2006). "Placenta previa, placenta accreta, and vasa previa.". Obstet Gynecol 107 (4): 927–41. doi:10.1097/01.AOG.0000207559.15715.98. PMID 16582134

    Minggu, 25 September 2011

    TROMBOSITOPENIA dalam KEHAMILAN

    LATAR BELAKANG
    Trombositopenia sering terjadi pada seorang ibu dan neonatus yang selalu disebabkan oleh destruksi trombosit (platelet destruction). Kadar trombosit ibu tidak hamil dan neonatus adalah 150.000 – 400.000 / µL ; dan pada wanita hamil umumnya lebih rendah.
    Trombositopenia dalam Kehamilan , dapat disebabkan oleh berbagai penyebab:
    • Trombositopenia Gestasional
    • Infeksi virus dan bakteri
    • Preeklampsia dengan komplikasi sindroma HELLP (hemolisis-Elevated Liver Enzyme dan Low Platelet.
    Berikut akan dibahas tentang imune trombositopenia , imune trombositopenik purpura (ITP) dan NAIT – neonatal alloimmune thrombocytopenia.

    PATOFISIOLOGI
    Trombositopenia pada ITP terjadi oleh karena destruksi trombosit yang di mediasi oleh autoantibodi trombosit langsung terhadap antigen permukaan sel. Sistem retikuendotelial merusak antibodi-trombotis komplek. Autoantibodi ini dapat menembus plasenta sehingga dapat mengganggu ibu dan anak.
    NAIT disebabkan oleh imunisasi maternal terhadap antigen “fetal paternally plateler-specific antigen ( mirip dengan penyakit Rhesus ). Ibu memiliki jumlah trombosit normal, namun janinnya mengalami trombositopenia berat.
    EPIDEMIOLOGI
    Angka Kejadian :
    Amerika
    Angka kejadian ITP : 1 – 2 kasus per 1000 persalinan[2]
    Diagnosa ITP ditegakkan saat pemeriksaan antenatal pada pasien dengan riwayat kelainan darah.
    Angka kejadian NAIT : 1 – 2 kasus per 1000 persalinan
    Internasional
    Angka kejadian ITP : 1.8 kasus per 1000 persalinan di Helsinki, Finlandia. [3]
    Angka kejdian NAIT : 0.5 kasus per 1000 persalinan dan 1.5 kasus per 1000 neonatus hidup di Inggris dan Perancis. [4]
    Di Jepang angka kejadian NAIT 0.3 kasus per 1000 lahir hidup dan adanya inkompatibilitas HPA (human Platelet Antigen) – 4 merupakan etiologi dari 80% kasus. [6] Rekurensi NAIT sangat tinggi (mendekati 100%) [7]
    image
    Immune thrombocytopenia. An infant born with neonatal lupus syndrome and severe thrombocytopenia. Note extensive bruising and petechiae.
    image
    Immune thrombocytopenia. An infant born with a cephalohematoma.

    MORTALITAS dan MORBIDITAS
    • Resiko ibu bersalin dengan ITP adalah perdarahan, terutama bila jumlah trombosit < 20.000. Trombositopenia neonatus akibat transportasi aktif antibodi trombosit transplasenta menimbulkan masalah klinik yang bermakna dan terjadi 9 dari 66 kehamilan dengan ITP (13.6%). Dari kehamilan tersebut, 5 neonatus dari 66 kehamilan menderita trombositopenia dengan jumlah trombosit < 50.000/µL
    • Trombositopenia neonatus yang hebat menempatkan neonatus dalam resiko perdarahan intrakranial atau viseral.
    • Morbiditas neonatus lebih sering terjadi pada NAIT dengan 10% kematian pada neonatus yang menderita dan 10% menderita kelainan neurologis akibat perdarahan intrakranial. Neonatus yang terkena menunjukkan petechiae generalisata, perdarahan inraabominal dan perdarahan lainnya.
    Hemaotoma
    Immune thrombocytopenia. Neonatal brain at autopsy showing extensive subdural hemorrhage.

    RAS
    • ITP dapat terjadi pada semua ras
    • Lebih dari 50% kasus NAIT terjadi pada ras kulit putih
    SEX
    • ITP lebih sering terjadi pada wanita (rasio 3:1).[12]
    • NAIT pada neonatus dapat terjadi pada kedua jenis kelamin
    USIA
    • Diagnosa ITP seringkali ditegakkan pada dekade II dan III kehidupan
    • NAIT terjadi dalam kehidupann janin dengan 25 – 50% perdaeahan intrakranial terdeteksi pada pemeriksaan USG prenatal sebelum onset persalinan[13]

     ANAMNESA

    • Ibu hamil dengan ITP dapat tanpa gejala atau dengan gejala ringan (epistaksis atau perdarahan gusi, atau petekiae))
    • Dapat terjadi riwayat menorrhagia atau menometrorrhagia sebelum kehamilan. ·
    • Seorang wanita dengan riwayat persalinan neonatus dengan trombositopenia, perdarahan viseral atau intrkranial patut diduga menderita NAIT. Namun, 50% neonatus dengan NAIT adalah anak pertama .
    DIAGNOSA BANDING
    Rujukan Kepustakaan
    1. Giers G, Wenzel F, Fischer J, et al. Retrospective comparison of maternal vs. HPA-matched donor platelets for treatment of fetal alloimmune thrombocytopenia. Vox Sang. Oct 27 2009;[Medline].
    2. Burrows RF, Kelton JG. Thrombocytopenia at delivery: a prospective survey of 6715 deliveries. Am J Obstet Gynecol. Mar 1990;162(3):731-4. [Medline].
    3. Sainio S, Jarvenpaa AL, Renlund M. Thrombocytopenia in term infants: a population-based study. Obstet Gynecol. Mar 2000;95(3):441-6. [Medline].
    4. Blanchette VS, Chen L, de Friedberg ZS. Alloimmunization to the PlA1 platelet antigen: results of a prospective study. Br J Haematol. Feb 1990;74(2):209-15. [Medline].
    5. Dreyfus M, Kaplan C, Verdy E. Frequency of immune thrombocytopenia in newborns: a prospective study. Immune Thrombocytopenia Working Group. Blood. Jun 15 1997;89(12):4402-6. [Medline].
    6. Davis GL. Platelet specific alloantigens. Clin Lab Sci. Nov-Dec 1998;11(6):356-61. [Medline].
    7. Bussel JB. Immune thrombocytopenia in pregnancy: autoimmune and alloimmune. J Reprod Immunol. Dec 15 1997;37(1):35-61. [Medline].
    8. Yamada H, Kato EH, Kobashi G. Passive immune thrombocytopenia in neonates of mothers with idiopathic thrombocytopenic purpura: incidence and risk factors. Semin Thromb Hemost. 1999;25(5):491-6. [Medline].
    9. Biswas A, Arulkumaran S, Ratnam SS. Disorders of platelets in pregnancy. Obstet Gynecol Surv. Aug 1994;49(8):585-94. [Medline].
    10. Durand-Zaleski I, Schlegel N, Blum-Boisgard C. Screening primiparous women and newborns for fetal/neonatal alloimmune thrombocytopenia: a prospective comparison of effectiveness and costs. Immune Thrombocytopenia Working Group. Am J Perinatol. Oct 1996;13(7):423-31. [Medline].
    11. ACOG practice bulletin, American College of Obstetricians and Gynecologists. Thrombocytopenia in pregnancy. Number 6, September 1999. Clinical management guidelines for obstetrician- gynecologists. Int J Gynaecol Obstet. Nov 1999;67(2):117-28. [Medline].
    12. George JN, el-Harake MA, Raskob GE. Chronic idiopathic thrombocytopenic purpura. N Engl J Med. Nov 3 1994;331(18):1207-11. [Medline].
    13. Herman JH, Jumbelic MI, Ancona RJ. In utero cerebral hemorrhage in alloimmune thrombocytopenia. Am J Pediatr Hematol Oncol. Winter 1986;8(4):312-7. [Medline].
    14. Christiaens GC, Nieuwenhuis HK, von dem Borne AE. Idiopathic thrombocytopenic purpura in pregnancy: a randomized trial on the effect of antenatal low dose corticosteroids on neonatal platelet count. Br J Obstet Gynaecol. Oct 1990;97(10):893-8. [Medline].
    15. Cohen DL, Baglin TP. Assessment and management of immune thrombocytopenia in pregnancy and in neonates. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. Jan 1995;72(1):F71-6. [Medline].
    16. Cines DB, Blanchette VS. Immune thrombocytopenic purpura. N Engl J Med. Mar 28 2002;346(13):995-1008. [Medline].
    17. Yamada H, Kato EH, Kishida T. Risk factors for neonatal thrombocytopenia in pregnancy complicated by idiopathic thrombocytopenic purpura. Ann Hematol. May 1998;76(5):211-4. [Medline].
    18. Moise KJ Jr, Patton DE, Cano LE. Misdiagnosis of a normal fetal platelet count after coagulation of intrapartum scalp samples in autoimmune thrombocytopenic purpura. Am J Perinatol. Sep 1991;8(5):295-6. [Medline].
    19. Berry SM, Leonardi MR, Wolfe HM. Maternal thrombocytopenia. Predicting neonatal thrombocytopenia with cordocentesis. J Reprod Med. May 1997;42(5):276-80. [Medline].
    20. Cook RL, Miller RC, Katz VL. Immune thrombocytopenic purpura in pregnancy: a reappraisal of management. Obstet Gynecol. Oct 1991;78(4):578-83. [Medline].
    21. Bussel J, Kaplan C. The fetal and neonatal consequences of maternal alloimmune thrombocytopenia. Baillieres Clin Haematol. Jun 1998;11(2):391-408. [Medline].
    22. Martí-Carvajal AJ, Peña-Martí GE, Comunián-Carrasco G. Medical treatments for idiopathic thrombocytopenic purpura during pregnancy. Cochrane Database Syst Rev. Oct 7 2009;CD007722. [Medline].
    23. Sukenik-Halevy R, Ellis MH, Fejgin MD. Management of immune thrombocytopenic purpura in pregnancy. Obstet Gynecol Surv. Mar 2008;63(3):182-8. [Medline].
    24. Howman RA, Barr AL, Shand AW, Dickinson JE. Antenatal intravenous immunoglobulin in chronic immune thrombocytopenic purpura: case report and literature review. Fetal Diagn Ther. 2009;25(1):93-7. [Medline].
    25. Bussel JB, Graziano JN, Kimberly RP. Intravenous anti-D treatment of immune thrombocytopenic purpura: analysis of efficacy, toxicity, and mechanism of effect. Blood. May 1 1991;77(9):1884-93. [Medline].
    26. Scaradavou A, Woo B, Woloski BM. Intravenous anti-D treatment of immune thrombocytopenic purpura: experience in 272 patients. Blood. Apr 15 1997;89(8):2689-700. [Medline].
    27. Copel JA, Gollin YG, Grannum PA. Alloimmune disorders and pregnancy. Semin Perinatol. Jun 1991;15(3):251-6. [Medline].
    28. Bussel JB, Zabusky MR, Berkowitz RL. Fetal alloimmune thrombocytopenia. N Engl J Med. Jul 3 1997;337(1):22-6. [Medline].
    29. Kaplan C, Daffos F, Forestier F. Management of alloimmune thrombocytopenia: antenatal diagnosis and in utero transfusion of maternal platelets. Blood. Jul 1988;72(1):340-3. [Medline].
    30. Nicolini U, Tannirandorn Y, Gonzalez P. Continuing controversy in alloimmune thrombocytopenia: fetal hyperimmunoglobulinemia fails to prevent thrombocytopenia. Am J Obstet Gynecol. Oct 1990;163(4 Pt 1):1144-6. [Medline].
    31. Murphy MF, Pullon HW, Metcalfe P. Management of fetal alloimmune thrombocytopenia by weekly in utero platelet transfusions. Vox Sang. 1990;58(1):45-9. [Medline].
    32. Lynch L, Bussel JB, McFarland JG. Antenatal treatment of alloimmune thrombocytopenia. Obstet Gynecol. Jul 1992;80(1):67-71. [Medline].
    33. Bussel JB, Berkowitz RL, Lynch L. Antenatal management of alloimmune thrombocytopenia with intravenous gamma-globulin: a randomized trial of the addition of low-dose steroid to intravenous gamma-globulin. Am J Obstet Gynecol. May 1996;174(5):1414-23. [Medline].
    34. Radder CM, Brand A, Kanhai HH. A less invasive treatment strategy to prevent intracranial hemorrhage in fetal and neonatal alloimmune thrombocytopenia. Am J Obstet Gynecol. 2001;185(3):683-8.
    35. Burrows RF, Kelton JG. Incidentally detected thrombocytopenia in healthy mothers and their infants. N Engl J Med. Jul 21 1988;319(3):142-5. [Medline].
    36. Greinacher A, Eichler P, Lubenow N. Drug-induced and drug-dependent immune thrombocytopenias. Rev Clin Exp Hematol. 2001;5(3):166-200.
    37. McCrae KR, Bussel JB, Mannucci PM, et al. Platelets: an update on diagnosis and management of thrombocytopenic disorders. Hematology Am Soc Hematol Educ Program. 2001;282-305.

    Sabtu, 24 September 2011

    ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT

    ANEMIA DEFISIENSI ASAM FOLAT
    Anemia defisiensi asam folat adalah berkurangnya sel darah merah (eritrosit) atau anemia akibat kurangnya asam folat.
    Anemia adalah kondisi dimana tubuh tidak memiliki sel darah merah sehat yang cukup. Sel darah merah diperlukan untuk memasok oksigen kedalam jaringan tubuh.
    Angka kejadian: 4 : 100.000
    Etiologi
    Folat atau lazim disebut asam folat dibutuhkan untuk pembentukan dan perkembangan eritrosit. Asam folat dapat diperoleh dari sayuran segar berwarna hijau dan hati. Oleh karena asam folat tidak disimpan dalam tubuh dalam jumlah besar, maka diperlukan pasokan kontinyu melalui makanan sehari-hari.
    Pada anemia akibat defisiensi asam folat, ukuran sel darah merah besar secara abnormal. Sel darah merah yang besar ini disebut megalosit atau megaloblas dalam sumsum tulang. Ini sebabnya maka, anemia defisiensi asam folat dinamakan megaloblastic anemia
    clip_image001
    Etiologi dari anemia jenis ini adalah:
    • Medikasi dengan obat tertentu a.k phenytoin (Dilantine®), methrotexate, sulfasalazine, triamterene, pyrimethamine, trimethoprim-sulfamethoxazole, dan barbiturat)
    • Alkoholisme menahun
    • Crohn's disease, celiac disease, infeksi cacing dari ikan atau kesulitan dalam pencernaan lain
    • Pasokan asam folat dari makanan sehari-hari yang buruk
    • Pembedahan dengan mengangkat sebagian dari lambung atau usus kecil (pembedahan untuk menurunkan berat badan)
    Pada trimester ketiga kehamilan, defisiensi terjadi akibat peningkatan kebutuhan. Hemolytic anemia juga menyebabkan defisiensi asam folat oleh karena meningkatnya destruksi eritrosit dan peningkatan kebutuhan.
    Faktor resiko :
    1. Alkoholisme
    2. Makan sayuran terlalu masak
    3. Gizi buruk (orang tua atau tidak gemar makan sayuran)
    4. Kehamilan
    Gejala
    • Lesu (Fatigue)
    • Sakit kepala
    • Pucat (Pallor)
    • Radang mulut dan lidah
    Pemeriksaan
    Terapi
    Tujuan adalah identifikasi dan mengatasi penyebab defisiensi asam folat
    Supleme asam folat diberikan peroral atau intravena (terapi jangka pendek) sampai anemia teratasi.
    Pada gangguan absorbsi di usus, terapi diberikan sepanjang hidup
    Terapi diet : sayuran hijau segar dan buah jeruk
    Outlook (Prognosis)
    Anemia umumnya teratasi dalam waktu 2 bulan
    Komplikasi
    Gejala anemia adalah lesu. Pada ibu hamil, defisiensi asam folat dikaitkan dengan defek tabung neural (spina bifida)
    Komplkiasi berat lain:
    • Gangguan pigmentasi dan struktur rambut (keriting dan berwarna abu-abu)
    • Peningkatan pigmentasi kulit
    • Infertility
    • Penyakit jantung menjadi berat dan gagal jantun (heart failure)
    Pencegahan
    Diet mengandung asam folat pada individu resiko tinggi, dan suplementasi asam folat saat kehamilan untuk mencegah terjadinya anemia dalam kehamilan
    Rujukan
    Antony AC. Megoblastic anemias. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 39.
    Kaferie J, Strzoda CE. Evaluation of macrocytosis. Am Fam Physician. 2009;79:203-208.

    ANEMIA dalam KEHAMILAN

    PENDAHULUAN
    Kehamilan menyebabkan serangkaian perubahan fisiologik yang sering mengacaukan penegakan diagnosa penyakit hematologi dan penentuan terapi.
    Salah satu yang paling penting adalah terjadinya perubahan volume plasma yang tidak sebanding dengan perubahan volume darah secara keseluruhan sehingga terjadi penurunan hematokrit.


    ETIOLOGI ANEMIA DALAM KEHAMILAN
    image

    ANEMIA DEFISIENSI ZAT BESI
    Di Negara Berkembang, anemia merupakan keadaan yang membahayakan ibu hamil.
    Wanita dewasa mempunyai kandungan zat besi sebesar 3500 – 4500 mg
    • 75% berada dalam eritrosit sebagai hemoglobin.
    • 20% berada dalam tempat penyimpanan terutama dalam sumsum tulang dan RES (reticulo endothelial system) sebagai kompleks ferritin.
    • 5% berada dalam otot, sistem enzym terutama dalam bentuk myohemoglobin.
    Usia eritrosit ± 120 hari dan setiap hari terdapat eritrosit yang mati dan mengeluarkan kandungan zat besinya yang diperlukan dalam proses pembentukan eritrosit baru.
    Setiap hari seorang akan kehilangan 1 mg zat besi melalui lapisan epitel yang mati. Pada wanita dewasa, melalui darah haid pasien akan kehilangan zat besi sekitar 1 mg perhari.
    Jadi kebutuhan seorang wanita tidak hamil untuk mempertahankan keseimbangan zat besi adalah 2 mg perhari. Makanan sehari-hari kita kira-kira mengandung 15 – 20 mg zat besi dan hanya 14 – 20% yang dapat diabsorbsi.
    Kehamilan adalah situasi dimana kebutuhan zat besi meningkat dan diperkirakan selama 40 minggu kehamilan kebutuhan zat besi wanita hamil adalah 750 mg yang terdiri dari :
    • 425 mg untuk ibu
    • 300 mg untuk janin
    • 25 mg untuk plasenta
    Sepanjang masa kehamilan, kebutuhan zat besi tidak selalu sama dan hal itu mempengaruhi derajat absorbsi zat besi oleh tubuh wanita hamil dari waktu ke waktu. Pada minggu ke 30, absorbsi sekitar 30% asupan zat besi yang ada ; pada minggu ke 36 , absorbsi sekitar 66% asupan zat besi yang ada ( 9 kali lipat aborbsi pada minggu ke 16).

    Kebutuhan Zat Besi selama Kehamilan
    image
    Catatan
    1. Kebutuhan maternal total dihitung dari
      • Kehilangan zat besi dari epitel yang mati 1 mg/hari
      • Kenaikan masa eritrosit dan perkembangan otot 1.6 mg /hari
      • Simpanan akibat amenorea 0.6 mg/hari
      • Kebutuhan harian 2.0 mg / hari

    1. Anggapan penggunaan harian adalah 20 – 25% dari asupan zat besi dasar
    DIAGNOSIS
    Bila Hb < 11 g/dL atau hematorit < 33%, harus dilakukan investigasi klinik yang baik untuk menghindari tranfusi darah kelak. Sebagian besar AG adalah akibat defisiensi zat besi, tetapi di belahan dunia lain dapat pula disebabkan oleh thalassemia atau “sickle cell” anaemia. Pada anemia yang berat (kurang dari 6.5 g/L) hal ini mungkin disebabkan oleh anemia megaloblastik.
    Pemeriksaan hemoglobin dilakukan pada kunjungan ANC pertama, minggu ke 30 dan minggu ke 36 .
    Jenis tes bervariasi tergantung pada kondisi lokal (tabel 35.2). Bila anemia terdeteksi secara klinis ( Hb < 10 g/L) maka MCV dan serum ferritin harus diperiksa.
    TERAPI
    Terapi tergantung pada :
    1. Derajat defisiensi zat besi
    2. Jangka waktu antara diagnosa dan persalinan
    Dosis peroral tidak lebih dari 200 mg karena akan menyebabkan mual dan rasa tak enak diperut selain itu semakin besar derajat defisiensi, semakin besar absorbsi yang terjadi
    Terapi awal diberikan 1/3 dosis yang diperlukan dan dinaikkan secara bertahap
    Terapi peroral diberikan setiap 8 jam sehingga absorbsi akan terus berlangsung selama 24 jam
    Dengan terapi diatas diharapkan terjadi kenaikan kadar Hb 1.5 g/L setiap hari dan bila dalam 2 minggu tak terdapat perbaikan perlu dipikirkan adanya anemia megaloblastik

    “The Diagnosis of Anemia in Pregnancy”
    image
    Bila pasien tak dapat mentolerir zat besi PO, atau bila saat persalinan sudah dekat atau kadar Hb < 6 5 g/L maka pemberian zat besi dilakukan secara parenteral.
    Pasien dengan anemia berat juga harus diberi asam folate 5 mg per hari oleh karena anemia berat mungkin menutupi gejala anemia megaloblastik (anemia defisiensi asam folat).
    Semakin rendah kadar Hb, semakin besar kemungkinan menderita anemia megaloblasik.
    Dugaan anemia megaloblastik : bila hapusan darah menunjukkan adanya lebih dari 7% neutrofil memiliki > 5 lobus. Konfirmasi dilakukan dengan pemeriksaan sumsum tulang.
     
    ANEMIA APLASTIK
    Kegagalan sumsung tulang yang menyebabkan anemia jarang terjadi selama kehamilan.
    Kejadian ini dapat berlangsung secara sekunder akibat bahan-bahan : kloramfenikol, fenilbutazone, mepheyntoin , kemoterapeutika atau insektisida.
    Pada kehamilan biasanya sembuh spontan dan diperkirakan merupakan reaksi imunologis yang terjadi selama kehamilan.

    Gambaran Klinik
    • Pucat, lesu ,takikardia, ulkus tenggorokan yang nyeri dan demam.
    • Kriteria diagnostik : pansitopenia dan sumsum tulang yang kosong.
    Komplikasi
    • IUFD, persalinan prematur atau abortus.
    • Morbidtasi ibu dan anak tinggi.
    Terapi
    • Hindari faktor – faktor penyebab
    • Prednisolone 10 – 20 mg qid
    • Tranfusi PRC dan trombosit
    • (terminasi kehamilan)
    • Transplantasi sumsum tulang

     
    “DRUG INDUCED HEMOLYTIC ANEMIA”
    Kadang terjadi pada pasien dengan “inborn error of metabolisme”
    Di US sering terjadi pada kasus defisiensi G6PD (glucosa 6 phosphat dehydrogenase) dalam eritrosit
    Gambaran Klinik
    Terjadi penurunan aktivitas G6PD pada 1/3 pasien trimester III sehingga mengalami episode hemolisis. 2/3 pasien memilki hematokrit < 30%
    Sering terjadi komplikasi UTI
    Pemakaian sulfonamide sering merupakan pencetus hemolisis
    Janin yang mengalami defisiensi G6PD bila terpapar dengan ibu yang menggunakan sulfonamide dapat mengalami hemolisis, hidrop fetalis dan IUFD.
     
    “ SICKLE CELL” ANEMIA

    image
    Kelainan genetik yang hampir selalu terjadi pada pasien kulit hitam.
    Ditandai dengan adanya kelainan molekul hemoglobin yang disebut hemoglobin S sehingga eritrosit berbentuk seperti bulan sabit.

    Gambaran klinik
    • Ditandai dengan anemia hemolitik kronis dengan krisis berulang
    • Sering menderita UTI-urinary tract infection
    • Sel eritrosit cenderung berubah bentuk saat hipoksia
    Gejala dan Tanda
    1. Anemia kronis
    2. Eritrosit berubah bentuk seperti bulan sabit
    3. Krisis perdarahan
    4. Manisfestasi lain :
    a. Kepekaan terhadap infeksi bakteri meningkat
    • Pneumonia
    • Bronchopneumonia
    • Infark paru
    b. Kerusakan ginjal
    c. Gangguan SSP
    d. Gangguan mata

     
    AKIBAT ANEMIA PADA KEHAMILAN dan PERSALINAN
    1. Morbiditas maternal meningkat akibat abortus , partus prematur
    2. Mortalitas ibu meningkat akibat perdarahan pasca persalinan dan anemia
    3. Komplikasi paru, gagal jantung kongestif, infeksi, preeklamsia eklamsia

    Bacaan Anjuran
    1. Bayouneu et al: Iron therapy in iron deficiency anemia in pregnancy . Am J Obstet Gynecol 186:512,2002
    2. Baby Centre Medical Adivory Board (2009) : Iron-deficiency anemia in pregnancy available at : http://www.babycenter.com/0_iron-deficiency-anemia-in-pregnancy_3073.bc accesed Januari 16th 2010
    3. Cunningham FG et al : Cardiovascular Disease in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005
    4. DeCherney AH. Nathan L : Cardiac, Hematologic, Pulmonary, Renal & Urinary Tract Disorder in Pregnancy in Current Obstetrics and Gynecologic Diagnosis and Treatment , McGraw Hill Companies, 2003
    5. Llewelyn-Jones : Cardiovascular, Repiratory and Hematological disorder in pregnancy in Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
    6. Scanlon KS, Yip R, Schieve LA,et al: High and low hemoglobin level during oregnancy : Differential risk for preterm birth and SGA. Obstet Gynecol 96:741, 2000
    7. Sharma JB, et al: A prospectibe, partially randomized study of pregnancy outcomes and hematologic respon to oral and intramuscular iron treatment in moderately anemic pregnant women. Am J Clin Nutri 79:116, 2004

    Jumat, 23 September 2011

    INKOMPATIBILITAS RHESUS dan KEHAMILAN

    INKOMPATIBILITAS RHESUS dan KEHAMILAN

    Apa yang dimaksud dengan Rhesus ?
    • Permukaan sel darah merah manusia dapat atau tidak mengandung antigen Rhesus (Rh-antigen). Bila ditemukan antigen Rh pada permukaan eritrosit maka pasien disebut Rhesus [+] Positif. Bila seorang pasien dengan golongan darah memiliki antigen Rhesus maka dia disebut sebagai A + ; bila tidak A –
    • Setengah dari antigen pada janin berasal dari ayah dan setengahnya dari ibu.

    Masalah sensitisasi Rhesus

    Pasangan orang tua yang harus diperhatikan adalah bila : ibu Rhesus Negatif dan ayah Rhesus Positif.
    • Bila ibu hamil Rhesus [-] dan anaknya Rhesus [+], maka ibu hamil akan mengalami sensitisasi dengan antigen Rhesus ð antibodi Rhesus.
    • Antibodi tersebut akan melewati plasenta dan menyerang eritrosit janin ðhemolisis eritrosit janin dengan segala akibatnya.
    • Sensitisasi

    Sensitisasi dapat terjadi saat :
      • Amniosentesis.
      • Abortus iminen.
      • Perdarahan per vaginam.
      • Solusio plasenta / Plasenta praevia.
      • Trauma abdomen.
      • Seksio sesar.
      • Versi Luar.

     Skenario bahaya pada janin

    Ibu Rhesus [-] dengan janin Rhesus [+] akan mengalami sensitisasi pada awal kehamilan.
    Wanita terpapar dengan darah Rhesus [+] selama kehamilan dan atau persalinan dan kemudian menghasilkan antibodi. Pada akhir kehamilan, sistem imunologi ibu hamil yang sudah mengenal darah Rhesus [+] melewati plasenta dan menyerang eritrosit janin yang Rhesus [+].

    Skrining

    Pada tiap kehamilan harus dilakukan pemeriksaan golongan darah berikut Faktor Rhesus dan skrining antibodi dilakukan pada kunjungan pertama dengan tes COMB indirect

     

    RhoGAM :

    Bila ibu Rhesus negatif terpapar dengan darah janin Rhesus [+], maka ibu harus diberi RhoGAM ; RhoGam adalah RhIgG (iGG akan menempel pada antigen Rhesus) dan mencegah terjadinya respon imunologi ibu.

    Penatalaksanaan Ibu Rhesus [-] yang tidak tersensitisasi (pasien Rhesus [-] dengan skrining antibodi [-])
    1. Skrining antibodi dikerjakan pada kehamilan 0 – 24 – 28 minggu.
    2. Bila negatif, berikan 300 µg RhIgG untuk mencegah terbentuknya antibodi dalam tubuh ibu.
    3. Saat persalinan, tentukan status Rhesus neonatus, bila Rhesus (+) , berikan RhIgG pasca persalinan.
    RhoGAM diberikan pada ibu Rhesus [-] yang terpapar dengan darah janin
    Pada kehamilan yang mengalami sensitisasi pertama kali, komplikasi terhadap janin rendah
    Penatalaksanaan Ibu rhesus Negatif yang tersensitisasi (bila pada kunjungan pertama, hasil skrining antibodi Rhesus hasilnya positif):
    1. Lakukan skrining antibodi pada kehamilan 0 – 12 – 20 minggu.
    2. Tentukan titer antibodi :
      • Bila titer stabil pada angka < 1 : 16 , kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik pada neonatus sangat rendah.
      • Bila titer > 1 : 16 atau meningkat, kemungkinan terjadinya penyakit hemolitik pada neonatus sangat besar
      • Amniosentesis pada kehamilan 16 – 20 minggu:
      • Analisa sel janin untuk menentukan status Rhesus.
      • Analisa cairan amnion dilakukan dengan memakai spektrofotometer yang menentukan absorbsi cahaya oleh bilirubin. Hasil pengukuran absorbsi di aplikasikan pada kurve Liley untuk meramalkan beratnya penyakit.

    Rabu, 21 September 2011

    HIDROP FETALIS

    image

    HIDROP FETALIS adalah bahasa latin dari suatu edema janin . Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Ballantyne tahun 1892, meskipun sesungguhnya kondisi  ini telah diketahui sejak dua abad yang lalu.  
    Gambaran klinis dari penyakit ini adalah abnormalitas akumulasi cairan dalam rongga tubuh (pleural, percardial dan peritoneal) dan jaringan lunak tubuh dengan ketebalan dinding lebih dari 5 mm..[1, 2, 3, 4, 5]   
    Hidrop fetalis sering berhubungan dengan hidramnion dan penebalan plasenta ( > 6 mm) pada 30 – 75% kasus. Sejumlah kasus ditemukan pula hepatosplenomegali.
    Masalah dasar pada hidrop fetalis adalah gangguan keseimbangan cairan homeostasis dimana terjadi banyak amumulasi cairan dibandingkan dengan yang di absorbsi. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan adanya 2 kategori patologi :
    • Hidrop Fetalis non-imune
    • Hidrop fetalis imune
    HF – IMUNE (10%)
    • Berasal dari penyakit hemolitik alloimuni (Rhesus Isoimmunization)
    • Dikenal pula sebagai eritroblastosis fetalis atau penyakit hemolitik.
    • Patogenesis : HF imune terjadi ketika sel darah merah janin mengekspresikan protein yang tidak terdapat didalam eritrosit ibu → sensitisasi sitem imunologi ibu → antibodi IgG untuk melawan protein asing tersebut
    IgG melintasi plasenta dan menghancurkan eritrosit janin → anemia dan gagal jantung pada janin
    HF imune biasa disertai dengan hematokrit janin < 15% (normal = 50%)
    • Isoimunisasi Rh :
    Antigen D (Rh) hanya ada pada eritrosit primata. Mutasi gen D menyebabkan tidak adanya ekspresi antigen D pada eritrosit. Individu semacam ini dianggap sebagai Rh negatif
    Jika janin berasal dari ibu yang Rh negatif maka tidak terjadi sensitisasi Rh. Meskipun demikian 60% ibu Rh negatif akan memiliki janin dengan Rh positif
    Paparan darah Rh positif pada ibu Rh negatif akan memicu respon antibodi
    Faktor resiko sensitisasi Rh :
    1. Tarnfusi darah yang tidak kompatibel
    2. Kehamilan ektopik
    3. Abortus
    4. Amniosentesis
    5. Kehamilan normal
    HF – NON IMUNE (90%)
    • NIHFnon immune related hydrops fetalis dapat disebabkan   oleh :.[6]
      • Gagal miokardium primer
      • Gagal jantung “high out-put”
      • Penurunan tekanan onkotik plasma
      • Peningkatan permeabilitas kapiler
      • Obstruksi aliran vena atau aliran limfatik. .
    • Etiologi utama NIHF adalah kelainan jantung bawaan
    • Etiologi kedua NIHF berikutnya adalah kelainan kromosom (sindroma Turner)..[1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9]
    • Mortalitas sangat tinggi.[7, 9, 10, 11, 12, 13, 14]
    • HF sering ditegakkan melalui USG rutin. Kecurigaan adanya HF ditegakkan bila ada riwayat dalam keluarga dan adanya hidramnion .[15]
    GAMBARAN PENCITRAAN 

    USG memperlihatkan adanya :
    1. Edema anasarka dan
    2. penumpukan cairan dalam rongga tubuh seperti pleura – perikardium dan rongga peritoneal (asites dan hidrokel)
    3. Hidramnion
    4. Plasenta yang tebal
    image 
    Left: Transverse section of the fetal abdomen.
    Right: Coronal section of the fetal thorax. These sonograms show ascites (asterisk) and echogenic lungs (L). This fetus had tracheal atresia. The red arrows indicate skin edema.
     
    image

    Coronal (left) and axial (right) fetal sonograms obtained late in the second trimester. These images show a large pleural effusion. The parents were from the Far East, and an earlier pregnancy had ended because of α thalassemia, which is a major cause of nonimmune-related hydrops fetalis in the Far East. The condition is uniformly fatal and associated with a significant risk of maternal morbidity. The α thalassemia gene is found in 20-30% of the population in Southeast Asia. The fetus was lost within 1 week of the ultrasonographic examination. Eff. = effusion; F. liver = fetal liver. 

    image

    Transverse sections of the fetal abdomen. These sonograms show small ascites (asterisk) and gross skin edema (red arrows).
     
    image

    Transverse ultrasonographic sections of the head (left) and chest (right) of a fetus with hydrops fetalis. Note the halo around the head; this is due to edema. Compare the halo with pseudoedema due to fetal hair. The chest shows gross skin edema and a large, bilateral pleural collection.

    Rujukan kepustakaan :
    1. Tercanli S, Gembruch U, Holgreve W. Nonimmune hydrops fetalis: diagnosis and management. In: Callan P, ed. Ultrasonography in Obstetrics and Gynecology. 4th ed. Philadelphia, Pa: WB Saunders Co; 2000:551-75.
    2. Benacerraf BR. Hydrops. Ultrasound in Fetal Syndrome. New York, NY: Churchill Livingstone; 1998:73.
    3. Challis DE, Ryan G, Jefferies A. Fetal hydrops. In: Rumack CM, Wilson SR, Charboneau JW, eds. Diagnostic Ultrasound. St Louis, Mo: Mosby-Year Book; 1998:1303-22.
    4. Sauerbrel E, Nguyen KT, Nolan RL. Fetal hydrops. A Practical Guide to Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2nd ed. Philadelphia, Pa: Lippincott-Raven; 1998:377-83.
    5. Bisset RA, Khan AN, Thomas NB. Causes of fetal hydrothorax. Differential Diagnosis in Obstetric and Gynecologic Ultrasound. Philadelphia, Pa: WB Saunders; 1997:216-9.
    6. Williams IA, Kleinman CS. Is hydrops fetalis a manifestation of fetal pulmonary edema caused by impaired lymphatic drainage?. Ultrasound Obstet Gynecol. Jan 2008;31(1):96-9. [Medline].
    7. Api O, Carvalho JS. Fetal dysrhythmias. Best Pract Res Clin Obstet Gynaecol. Feb 2008;22(1):31-48. [Medline].
    8. Hirsch M, Friedman S, Schoenfeld A, Ovadia J. Nonimmune hydrops fetalis--a rational attitude of management. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol. Mar 1985;19(3):191-6. [Medline].
    9. Holzgreve W, Curry CJ, Golbus MS, et al. Investigation of nonimmune hydrops fetalis. Am J Obstet Gynecol. Dec 1 1984;150(7):805-12. [Medline].
    10. Has R. Non-immune hydrops fetalis in the first trimester: a review of 30 cases. Clin Exp Obstet Gynecol. 2001;28(3):187-90. [Medline].
    11. Heinonen S, Ryynänen M, Kirkinen P. Etiology and outcome of second trimester non-immunologic fetal hydrops. Acta Obstet Gynecol Scand. Jan 2000;79(1):15-8. [Medline].
    12. Bukowski R, Saade GR. Hydrops fetalis. Clin Perinatol. Dec 2000;27(4):1007-31. [Medline].
    13. Vautier-Rit S, Dufour P, Vaksmann G, et al. [Fetal arrhythmias: diagnosis, prognosis, treatment; apropos of 33 cases] [French]. Gynecol Obstet Fertil. Oct 2000;28(10):729-37. [Medline].
    14. Castillo RA, Devoe LD, Hadi HA, Martin S, Geist D. Nonimmune hydrops fetalis: clinical experience and factors related to a poor outcome. Am J Obstet Gynecol. Oct 1986;155(4):812-6. [Medline].
    15. Harper A, Kenny B, O'Hara MD, Nelson J. Recurrent idiopathic non-immunologic hydrops fetalis: a report of two families, with three and two affected siblings. Br J Obstet Gynaecol. Aug 1993;100(8):796. [Medline].
    16. Sahn DJ, Shenker L, Reed KL, et al. Prenatal ultrasound diagnosis of hypoplastic left heart syndrome in utero associated with hydrops fetalis. Am Heart J. Dec 1982;104(6):1368-72. [Medline].
    17. Salmaso R, Franco R, de Santis M, et al. Early detection by magnetic resonance imaging of fetal cerebral damage in a fetus with hydrops and cytomegalovirus infection. J Matern Fetal Neonatal Med. Jul 2007;20(7):559-61. [Medline].
    18. Favre R, Dreux S, Dommergues M, et al. Nonimmune fetal ascites: a series of 79 cases. Am J Obstet Gynecol. Feb 2004;190(2):407-12. [Medline].