Minggu, 27 Desember 2009

DILATASI & KURETASE

cilation and curretege Tindakan ginekologik untuk mengakhiri kehamilan pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu disebut sebagai aborsi yang dikerjakan melalui tindakan kuretase tanpa atau disertai dengan dilatasi kanalis servikalis terlebih dulu ( D & C ).

Aborsi elektif atau “voluntary” adalah terminasi kehamilan sebelum “viability” atas kehendak pasien dan tidak berdasarkan alasan medik.

Indikasi

pengosongan uterus pada kehamilan kurang dari 20 minggu :

  1. Menghentikan perdarahan pervaginam pada peristiwa abortus spontan
  2. Kematian janin intra uterine ( IUFE-intra uterine fetal death)
  3. Kelainan kongenital berat yang menyebabkan gangguan anatomis atau gangguan mental hebat
  4. Mola hidatidosa
  5. Kelainan medik yang menyebabkan seorang wanita tidak boleh hamil:
    1. Penyakit jantung,
    2. Penyakit hipertensi yang berat,
    3. Carcinoma cervix invasif
  6. [Psikososial misalnya pada korban perkosaan atau “incest” yang menjadi hamil]
  7. [Kegagalan kontrasepsi]

Persiapan tindakan:

  1. Anamnesa, pemeriksaan umum dan pemeriksaan ginekologik
  2. Penjelasan mengenai prosedur pelaksanaan tindakan dan komplikasi yang mungkin terjadi
  3. Penentuan jenis kontrasepsi yang akan digunakan pasca tindakan
  4. “Informed consent” dari pasien dan suami [atau keluarga]

TEHNIK ABORSI

Pembedahan

  1. Dilatasi servik yang dilanjutkan dengan evakuasi:
    1. Kuretase
    2. Aspirasi vakum (suction curettage)
    3. Dilatasi dan evakuasi
    4. Dilatasi dan ekstraksi
  2. Menstrual aspiration
  3. Laparotomi:
    1. Histerotomi
    2. Histerektomi

Medikamentosa

  1. Oksitosin intravena
  2. Cairan hiperosmolar intra amniotik:
    1. Saline 20%
    2. Urea 30%
  3. Prostaglandine E2, F2α, E1 dan analoognya
    1. Injeksi intra amniotik
    2. Injeksi ekstra ovular
    3. Insersi vagina
    4. Injeksi parenteral
    5. Peroral
  4. Antiprogesterone- RU 486 ( mifepristone) dan epostane
  5. Methrotexate- intramuskular dan peroral
  6. Kombinasi bahan-bahan diatas

Perbandingan antara Tehnik Pembedahan dengan tehnik Medikamentosa :

Tehnik

ABORSI MEDIKAMENTOSA

Tehnik

ABORSI BEDAH

Bukan prosedur yang invasif

Selalu tidak menggunakan anaesthesia

Memerlukan lebih dari dua kunjungan

Berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu

Dapat digunakan pada awal kehamilan

Angka keberhasilan 95%

Memerlukan tindak lanjut untuk memastikan bahwa telah terjadi abortus secara lengkap

Memerlukan partisipasi dari pasien pada semua langkah terapi

Prosedur invasif

Bila dipandang perlu, dapat diberikan sedasi / anestesi

Umumnya hanya satu kali kunjungan saja

Berlangsung dalam waktu yang tidak dapat diramalkan

Dapat digunakan pada awal kehamilan

Angka keberhasilan 99%

Tidak selalu memerlukan tindak lanjut untuk memastikan bahwa abortus sudah lengkap

Partisipasi pasien hanya pada satu tahapan saja

DILATASI DAN KURETASE

  1. Bila masih memungkinkan dan dianggap perlu, tindakan untuk memperlebar kanalis servikalis dilakukan dengan pemasangan batang laminaria dalam kanalis servikalis dalam waktu maksimum 12 jam sebelum tindakan kuretase.
  2. Dilatasi juga dapat dilakukan dengan dilatator Hegar yang terbuat dari logam dari berbagai ukuran (antara 0.5 cm sampai 1.0 cm)
  3. Setelah persiapan operator dan pasien selesai, pasien diminta untuk berbaring pada posisi lithotomi setelah sebelumnya mengosongkan vesica urinaria.
  4. Perineum dibersihkan dengan cairan antiseptik
  5. Dilakukan pemeriksaan dalam ulangan untuk menentukan posisi servik, arah dan ukuran uterus serta keadaan adneksa
  6. Spekulum dipasang dan bibir depan porsio dijepit dengan 1 atau 2 buah cunam servik.

clip_image002

Gambar 11.1 : Spekulum vagina dipasang dan dipegang oleh asisten, sonde uterus dimasukkan kedalam cavum uteri untuk menentukan arah dan kedalaman uterus

clip_image002[4]

Gambar 11.2 : Dilatator hegar dijepit diantara ibu jari da jari telunjuk tangan kanan dan dimasukkan kedalam uterus secara hati-hati dan sistematis (mulai dari ukuran diameter terkecil

  1. Gagang sonde dipegang antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan dan kemudian dilakukan sondage untuk menentukan arah dan kedalaman uterus
  2. Bila perlu dilakukan dilatasi dengan dilatator Hegar
  3. Jaringan sisa kehamilan yang besar diambil terlebih dulu dengan cunam abortus
  4. Sendok kuret dipegang diantara ujung jari dan jari telunjuk tangan kanan ( hindari cara memegang sendok kuret dengan cara menggenggam ), sendok dimasukkan ke kedalam uterus dalam posisi mendatar dengan lengkungan yang menghadap atas.

clip_image002[8]

Gambar 11.3 : Sendok uterus dimasukkan secara mendatar dengan lengkungan menghadap atas dan kuretase dikerjakan secara sistematis ( searah jarum jam dan meliputi seluruh cavum uteri )

clip_image002[10]

Gambar 11.4 : Pengeluaran sisa kehamilan

Regimen Aborsi Medikamentosa Untuk Kehamilan Muda :

  • Mifepristone + Misoprostol
    • Mifepristone 100 – 600 mg p.o diikuti dengan
    • Misoprostol 400ug p.o atau 800 ug per vaginam dalam waktu 6 – 72 jam
  • Methrotexate + Misoprostol
    • Methrotexate 50 mg/m2 i.m atau p.o, diikuti dengan :
    • Misoprostol 800 ug per vaginam dalam waktu 3 – 7 hari dan bila perlu diulang dalam waktu 1 minggu kemudian setelah pemberian methrotexate pertama

( Data dari ACOG 2001b, Borgatta 2001; Creinin 2001,2004 ; Pymar 2001, Schaff 2000, von Hertzen 2003; Wiebe 1999, 2002 )

ABORSI PADA TRIMESTER KEDUA

METODE NON INVASIF

  1. Oksitosin intravena dosis tinggi
  2. Prostaglandine E2 suppositoria
  3. Prostaglandine E1 (misoprostol) peroral

OKSITOSIN DOSIS TINGGI

  • Berhasil pada 80 – 90% kasus
  • Pemberian 50 unit oksitosin dalam 500 ml PZ selama 3 jam

PROSTAGLANDINE E2

  • 20 mg Prostaglandine E2 intravaginal pada fornix posterior
  • Efek samping : mual dan muntah, demam dan diare

PROSTAGLANDINE E1

  • 600 ug intra vagina diikuti dengan pemberian 400 ug setiap 4 jam
  • Ramsey dkk (2004) : tehnik ini lebih efektif dibandingkan oksitosin infuse dosis tinggi

Rujukan :

  • Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in “William Obstetrics” 22nd ed p 536 – 545 , Mc GrawHill Companies 2005

Jumat, 25 Desember 2009

PEMERIKSAAN FORENSIK PADA KASUS PERKOSAAN & DELIK ADUAN LAIN

kuliah dari : dr. Djaja Surja Atmadja

PENDAHULUAN

image Dalam beberapa tahun terakhir ini kita kerapkali membaca berita mengenai kasus perkosaan atau perampokan/ pembunuhan yang disertai perkosaan.

Kasus-kasus semacam ini biasanya memiliki nilai berita yang tinggi dan akan diliput oleh berbagai mediamassa. Di pihak lain, masyarakat yang mengetahui berita semacam ini umumnya ikut terlibat dan seringkali merasa gemas dan mengutuk perbuatan itu.

Protes masyarakat dimanifestasikan dalam tulisan surat pembaca di berbagai media cetak. Telah sering kita baca bahwa masyarakat mengusulkan agar sanksi hukum terhadap pelaku perkosaan diperberat karena masyarakat merasa bahwa hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terlalu ringan.

Dalam tulisan ini ingin dibahas mengenai aspek medis dan hukum dari delik perkosaan dan delik susila lainnya khususnya dari aspek pembuktiannya.

KENDALA PEMBUKTIAN

Dalam sistim peradilan yang dianut negara kita, seorang hakim tidak dapat menjatuhkan hukuman kepada seseorang terdakwa kecuali dengan sekurangnya dua alat bukti yang sah ia merasa yakin bahwa tindak pidana itu memang telah terjadi (pasal 183 KUHAP) .

Sedang yang dimaksud dengan alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa (pasal 184 KUHAP).

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pada suatu kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu diperjelas keterkaitan antara bukti bukti yang ditemukan :

  1. Tempat kejadian perkara,
  2. Tubuh atau pakaian korban,
  3. Tubuh atau pakaian pelaku dan
  4. Pada alat yang digunakan pada kejahatan ini ( penis ).

Keterkaitan antara 4 faktor inilah yang seringkali dijabarkan dalam prisma (segiempat) bukti dan merupakan salah satu hal yang dapat menimbulkan keyakinan hakim.

Pada banyak kasus perkosaan keterkaitan empat faktor ini tidak jelas atau tidak dapat ditemukan sehingga mengakibatkan tidak timbul keyakinan pada hakim yang bermanifestasi dalam bentuk hukuman yang ringan dan sekadarnya.

Beberapa hal yang dapat mengakibatkan terjadinya hal ini adalah hal-hal sbb:

  1. Masalah keutuhan barang bukti.
  2. Masalah tehnis pengumpulan benda bukti
  3. Masalah tehnis pemeriksaan forensik dan laboratorium
  4. Masalah pengetahuan dokter pemeriksa
  5. Masalah pengetahuan aparat penegak hukum

Masalah keutuhan barang bukti

Seorang korban perkosaan setelah kejadian yang memalukan tersebut umumnya akan merasa jijik dan segera mandi atau mencuci dirinya bersih-bersih. Seprei yang mengandung bercak mani atau darah seringkali telah dicuci dan diganti dengan seprei yang baru sebelum penyidik tiba di TKP.

Lantai yang mungkin mengandung benda bukti telah disapu dan dipel terlebih dahulu agar "rapi " kelihatannya bila polisi datang. Ketika korban akan dibawa ke dokter untuk diperiksa dan berobat seringkali ia mandi dan / atau mengganti pakaiannya terlebih dahulu dengan yang baru dan bersih.

Hal-hal semacam ini tanpa disadari akan menyebabkan hilangnya banyak benda bukti seperti cairan/bercak mani, rambut pelaku, darah pelaku dsb yang diperlukan untuk pembuktian di pengadilan.

Adanya kelambatan korban untuk melapor ke polisi karena perasaan malu dan ragu-ragu juga menyebabkan hilangnya benda bukti karena berlalunya waktu.

Masalah teknis penqumpulan benda bukti

Pengolahan TKP dan tehnik pengambilan barang bukti merupakan hal yang amat mempengaruhi pengambilan kesimpulan. Pada suatu kejadian perkosaan dan delik susila lainnya penyidik mencari sebanyak mungkin benda bukti yang mungkin ditinggalkan di TKP seperti adanya sidikjari, rambut, bercak mani pada lantai, seprei atau kertas tissue di tempat sampah dsb.

Tidak dilakukannya pencarian benda bukti, baik akibat kurangnya pengetahuan, kurang pengalaman atau kecerobohan, dapat mengakibatkan hilangnya banyak data yang penting untuk pengungkanan kasus.

Pada pemeriksaan terhadap tubuh korban cara pengambilan sampel usapan vagina yang salah juga dapat menyebabkan hasil negatif palsu.

Pada persetubuhan dengan melalui anus (sodomi) pengambilan bahan usapan dengan kapas lidi bukan dilakukan dengan mencolokkan lidi ke dalam liang anus saja tetapi harus dilakukan juga pada sela-sela lipatan anus, karena pada pengambilan yang pertama yang akan didapatkan umumnya adalah tinja dan bukan sperma.

Adanya bercak mani pada kulit, bulu kemaluan korban yang menggumpal atau pakaian korban, adanya rambut pada sekitar bulu kemaluan korban, adanya bercak darah atau epitel kulit pada kuku jari (jika korban sempat mencakar pelaku) adalah hal-hal yang tak boleh dilewatkan pada pemeriksaan.

Masalah teknis pemeriksaan forensik dan laboratorium

Kemampuan pemeriksaan pusat pelayanan perkosaan berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. Suatu klinik yang tidak melakukan pemeriksaan sperma sama sekali tentu tak dapat membedakan antara robekan selaput dara atau robekan akibat benda tumpul pada masturbasi. Klinik yang hanya melakukan pemeriksaan sperma langsung saja tentu tak dapat membedakan tidak adanya persetubuhan dengan persetubuhan dengan ejakulasi dari orang yang tak memiliki sel sperma (pasca vasektomi atau mandul tanpa sel sperma).

Suatu klinik yang hanya melakukan pemeriksaan sperma dengan uji fosfatase asam saja misalnya tentu hanya dapat menghasilkan kesimpulan terbatas: ini pasti bukan sperma atau ini mungkin sperma

Tetapi jika klinik tersebut juga melakukan pemeriksaan lain seperti uji PAN, Berberio, Florence, pewarnaan Baechi atau Malachite green maka kesimpulan yang dapat ditariknya adalah: pasti sperma, cairan mani tanpa sperma (pelakunya mandul tanpa sel sperma atau sudah disterilisasi) atau pasti bukan sperma. Lihat tabel.

Pemeriksaan pada kasus perkosaan untuk pencarian pelaku dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada bahan rambut atau bercak cairan mani, bercak/cairan darah atau kerokan kuku. Pemeriksaan yang dilakukan diantaranya adalah pemeriksaan pola permukaaan luar (kutikula) rambut, peme .riksaan golongan darah dan pemeriksaan sidik DNA.

Pemeriksaan sidik DNA yang dilakukan pada bahan yang berasal dari usapan vagina korban bukan saja dapat mengungkapkan pelaku perkosaan secara pasti, tetapi juga dapat mendeteksi jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan banyak pelaku (salome).

Pemeriksaan golongan darah dan sidik DNA atas bahan kerokan kuku (jika korban sempat mencakar) juga dapat digunakan untuk mencari pelakunya.

Jika hanya pemeriksaan golongan darah yang akan dilakukan pada bahan usapan vagina, maka bahan liur dari korban dan tersangka pelaku perlu juga diperiksa golongan darahnya untuk menentukan golongan sekretor atau non sekretor.

Orang yang termasuk golongan sekretor (sekitar 85 -06 dari populasi) pada cairan tubuhnya terdapat substansi golongan darah. Kelompok orang ini jika melakukan perkosaan akan meninggalkan cairan mani dan golongan darahnya sekaligus pada tubuh korban.

Sebaliknya orang yang termasuk golongan non-sekretor (15 % dari populasi)jika memperkosa hanya akan meninggalkan cairan mani saja tanpa golongan darah. Dengan demikian jika pada tubuh korban ditemukan adanya substansi golongan darah apapun, maka yang bersangkutan tetap harus dicurigai sebagai tersangkanya.

Adanya pemeriksaan sidik DNA telah mempermudah penyimpulan karena tidak dikenal adanya istilah sekretor dan non~sekretor pada pemeriksaan DNA. Dalam hal tersangka pelaku tertangkap basah dan belum sempat mencuci penisnya, maka secara konvensional leher kepala penisnya dapat diusapkan ke gelas obyek dan diberi uap lugol. Adanya sel epitel vagina yang berwarna coklat dianggap merupakan bukti bahwa penis itu baru ‘bersentuhan' dengan vagina alias baru bersetubuh. Laporan terakhir pada tahun 1995, menunjukkan bahwa gambaran epitel ini tak dapat diterima lagi sebagai bukti adanya epitel vagina, karena epitel pria baik yang normal maupun yang sedang mengalami infeksi kencing juga mempunyai epitel dengan gambaran yang sama.

Pada saat ini jika seorang pria diduga baru saja bersetubuh, maka kepala dan leher penisnya perlu dibilas dengan larutan NaCl. Air cucian ini selanjunya diperiksa ada tidaknya sel epitel secara mikroskopik dan jika ada maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan DNA dengan metode PCR (polymerase chain reaction)

Masalah pengetahuan dokter pemeriksa

Pada saat ini akibat kelangkaan dokter forensik, maka kasus perkosaan dan delik susila lainnya ditangani oleh dokter kebidanan atau bahkan dokter umum. Sebagai dokter klinik yang tugasnya terutama mengobati orang sakit, maka biasanya yang menjadi prioritas utama adalah mengobati korban. Ketidaktahuan mengenai prinsip-prinsip pengumpulan benda bukti dan cara pemeriksaannya membuat banyak bukti penting terlewatkan dan tak terdeteksi selama pemeriksaan.

Umumnya dokter kebidanan hanya memeriksa ada tidaknya luka di sekitar kemaluan, karena merasa hanya daerah inilah bidang keahliannya. Akibatnya tanda kekerasan didaerah lainnya tidak terdeteksi. Pemeriksaan toksikologi atas bahan darah atau urin untuk mendeteksi kekerasan berupa membuat korban pingsan atau tidak berdaya dengan obat-obatan umumnya tak pernah dilakukan.

Pemeriksaan ada tidaknya cairan mani biasanya hanya dilakukan dengan pemeriksaan langsung saja, sehingga adanya cairan mani tanpa sperma tak mungkin dideteksi. Pemeriksaan kearah pembuktian pelaku seiauh ini boleh dikatakan tak pernah dilakukan karena masih dianggap bukan kewajiban dokter. Dengan demikian selama ini dasar dari tuduhan terhadap pelaku perkosaan umumnya adal,ah hanya dari kesaksian korban dan pengakuan tersangka saja, padahal kedua alat bukti ini seringkali sulit dipercaya karena sifatnya yang subyektif.

Masalah pengetahuan aparat penegak hukum

Pada kasus-kasus semacam ini arah penyidikan harus jelas arahnya agar pengumpulan bukti menjadi terarah dan tajam pula. Kesalahan dalam membuat tuduhan, misalnya akan dapat membuat tersangka menjadi bebas sama sekali. Jika penyidik, jaksa serta hakim hanya menganggap perlu mencari alat bukti berupa pengakuan terdakwa dan mengabaikan pembuktian secara ilmiah lewat pemeriksaan medis dan kesaksian ahli maka tentunya pembuktian dilakukan seadanya.

PENENTUAN JENIS DELIK

Suatu laporan tentang seorang yang disetubuhi atau dilecehkan secara seksual oleh seseorang lainnya tidak selalu berarti kasusnya adalah perkosaan. Untuk kasus-kasus semacam ini kita harus memilah termasuk kategori delik yang manakah kasus tersebut, yang masing masing mempunyai kriteria dan hukuman yang berbeda satu sama lain.

Perkosaan

Menurut KUHP pasal 285 perkosaan adalah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan menyetubuhi seorang wanita di luar perkawinan. Termasuk dalam kategori kekerasan disini adalah dengan sengaja membuat orang pingsan atau tidak berdaya (pasal 89 KUHP).

Hukuman maksimal untuk delik perkosaan ini adalah 12 tahun penjara.

Persetubuhan diluar perkawinan

Persetubuhan diluar perkawinan antara pria dan wanita yang berusia diatas 15 tahun tidak dapat dihukum kecuali jika perbuatan tersebut dilakukan terhadap wanita yang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.

Untuk perbuatan yang terakhir ini pelakunya dapat dihukum maksimal 9 tahun penjara (pasal 286 KUHP) jika persetubuhan dilakukan terhadap wanita yang diketahui atau sepatutnya dapat diduga berusia dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin maka pelakunya dapat diancam hukuman penjara maksimal 9 tahun.

Untuk penuntutan ini harus ada pengaduan dari korban atau keluarganya (pasal 287 KUHP) . Khusus untuk yang usianya dibawah 12 tahun maka untuk penuntutan tidak diperlukan adanya pengaduan.

Perzinahan

Perzinahan adalah persetubuhan antara pria dan wanita diluar perkawinan, dimana salah satu diantaranya telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.

Khusus untuk delik ini penuntutan dilakukan oleh pasangan dari yang telah kawin tadi yang diajukan dalam 3 bulan disertai gugatan cerai/pisah kamar/pisah ranjang. Perzinahan ini diancam dengan hukuman pen]ara selama maksimal 9 bulan.

Perbuatan cabul

Seseorang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, maka ia diancam dengan hukuman penjara maksimal 9 tahun (pasal 289 KUHP).

Hukuman perbuatan cabul lebih ringan, yaitu 7 tahun saja jika perbuatan cabul ini dilakukan terhadap orang yang sedang pingsan, tidak berdaya. berumur dibawah 15 tahun atau belum pantas dikawin dengan atau tanpa bujukan (pasal 290 KUHP). Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap orang yang belum dewasa oleh sesama jenis diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 291 KUHP).

Perbuatan cabul yang dilakukan dengan cara pemberian, menjanjikan uang atau barang, menyalahgunakan wibawa atau penyesatan terhadap orang yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 293 KUHP) .

Perbuatan cabul yang dilakukan terhadap anak, anak tiri, anak angkat, anak yang belum dewasa yang pengawasan, pemeliharaan, pendidikan atau penjagaannya diserahkan kepadanya, dengan bujang atau bawahan yang belum dewasa diancam dengan hukuman penjara maksimal 7 tahun.

Hukuman yang sama juga diberikan pada pegawai negeri yang melakukan perbuatan cabul dengan bawahan atau orang yang penjagaannya dipercayakan kepadanya, pengurus, dokter, guru, pegawai, pengawas atau pesuruh dalam penjara, tempat peker]aan negara, tempat pendidikan, rumah piatu, rumah sakit, rumah sakit jiwa atau lembaga sosial yang melakukan perbuatan cabul dengan orang yang dimasukkan ke dalamnya (pasal 294 KUHP).

Orang yang dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan, menjadi penghubung bagi perbuatan cabul terhadap korban yang belum cukup umur diancam dengan hukuman penjara maksimal 5 tahun (pasal 295 KUHP).

Jika perbuatan ini dilakukan sebagai pencarian atau kebiasaan maka ancaman hukumannya satu tahun 4 bulan atau denda paling banyak Rp. 15.000,-

PEMERIKSAAN KORBAN

image Jika korban dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis, maka dokter punya kewajiban untuk melaporkan kasus tersebut ke polisi atau menyuruh keluarga korban untuk melapor ke polisi.

Korban yang melapor terlebih dahulu ke polisi pada akhirnya juga akan dibawa ke dokter untuk mendapatkan pertolongan medis sekaligus pemeriksaan forensik untuk dibuatkan visum et repertumnya.

Sebagai dokter klinis, pemeriksa bertugas menegakkan diagnosis dan melakukan pengobatan. Adanya kemungkinan terjadinya kehamilan atau penyakit akibat hubungan seksual (PHS) harus diantisipasi dan dicegah dengan pemberian obat-obatan. Pengobatan terhadap luka dan keracunan harus dilakukan seperti biasanya. Pengobatan secara psikiatris untuk penanggulangan trauma pasca perkosaan juga sangat diperlukan untuk mengurangi penderitaan korban. Sebagai dokter forensik pemeriksa bertugas mengumpulkan berbagai. bukti yang berkaitan dengan pemenuhan unsur-unsur delik seperti yang dinyatakan oleh undang-undang, dan menyusun laporan visum et repertum.

Secara umum dokter bertugas mengumpulkan bukti adanya kekerasan, keracunan, tanda persetubuhan, penentuan usia korban dan pelacakan benda bukti yang berasal dari pelaku. Pencarian benda-benda bukti yang berasal dari pelaku pada tubuh atau pakaian korban dan tempat kejadian perkara merupakan hal penting yang paling sering dilupakan oleh dokter.

Pada kasus perkosaan dan delik susila lainnya perlu dikumpulkan informasi-informasi sebagai berikut :

Umur korban

Umur korban amat perlu ditentukan pada pemeriksaan medis, karena hal itu menentukan jenis delik (delik aduan atau bukan), jenis pasal yang dilanggar dan jumlah hukuman yang dapat dijatuhkan.

Dalam hal korban mengetahui secara pasti tanggal lahirnya/umurnya, apalagi jika dikuatkan oleh bukti diri (KTP,SIM dsb) , maka umur dapat langsung disimpulkan dari hal tersebut.

Akan tetapi jika korban tak mengetahui umurnya secara pasti maka perlu diperiksa erupsi gigi molar II dan molar III. Gigi molar II mengalami erupsi pada usia kurang lebih 12 tahun, sedang gigi molar III pada usia 17 sampai 21 tahun. Untuk wanita yang telah tumbuh molar IInya, perlu dilakukan foto ronsen gigi. Jika setengah sampai seluruh mahkota molar III sudah mengalami mineralisasi (terbentuk) , tapi akarnya belum maka usianya kurang dari 15 tahun.

Kriteria sudah tidaknya wanita mengalami haid pertama atau menarche tak dapat dipakai untuk menentukan umur karena usia menarch saat ini tidak lagi pada usia 15 tahun tetapi seringkali jauh lebih muda dari itu.

Tanda kekerasan

Yang dimaksud dengan kekerasan pada delik susila adalah kekerasan yang menunjukkan adanya unsur pemaksaan, seperti jejas bekapan pada hidung, mulut dan bibir, jejas cekik pada leher, kekerasan pada kepala, luka lecet pada punggung atau bokong akibat penekanan, memar pada lengan atas dan paha akibat pembukaan secara paksa, luka lecet pada pergelangan tangan akibat pencekalan dsb.

Adanya luka-luka ini harus dibedakan dengan luka-luka akibat "foreplay" pada persetubuhan yang "biasa" seperti luka isap (cupang) pada leher, daerah payudara atau sekitar kemaluan, cakaran pada punggung (yang sering -terjadi saat orgasme) dsb.

Luka-luka yang terakhir ini memang merupakan kekerasan tetapi bukan kekerasan yang dimaksud pada delik perkosaan. Adanya luka-luka jenis ini harus dinyatakan secara jelas dalam kesimpulan visum et repertum untuk menghindari kesalahan interpretasi oleh aparat penegak hukum.

Tanpa adanya kejelasan ini suatu kasus persetubuhan biasa bisa disalahtafsirkan sebagai perkosaan yang berakibat hukumannya menjadi lebih berat.

Pemeriksaan toksikologi untuk beberapa jenis obat-obatan yang umum digunakan untuk membuat orang mabuk atau pingsan perlu pula dilakukan, karena tindakan membuat orang mabuk atau pingsan secara sengaja dikategorikan juga sebagai kekerasan. Obat-obatan yang perlu diperiksa adalah obat penenang, alkohol, obat tidur, obat perangsang (termasuk ecstasy) dsb.

Tanda persetubuhan

Tanda persetubuhan secara garis besar dapat dibagi dalam tanda penetrasi dan tanda ejakulasi.

Tanda penetrasi biasanya hanya jelas ditemukan pada korban yang masih kecil atau belum pernah melahirkan atau nullipara. Pada korban-korban ini penetrasi dapat menyebabkan terjadinya robekan selaput dara sampai ke dasar pada lokasi pukul 5 sampai 7, luka lecet, memar sampai luka robek baik di daerah liang vagina, bibir kemaluan maupun daerah perineum. Adanya penyakit keputihan akibat jamur Candida misalnya dapat menunjukkan adanya erosi yang dapat disalah artikan sebagai luka lecet oleh pemeriksa yang kurang berpengalaman. Tidak ditemukannya luka-luka tersebut pada korban yang bukan nulipara tidak menyingkirkan kemungkinan adanya penetrasi.

Tanda ejakulasi bukanlah tanda yang harus ditemukan pada persetubuhan, meskipun adanya ejakulasi memudahkan kita secara pasti menyatakan bahwa telah terjadi persetubuhan. Ejakulasi dibuktikan dengan pemeriksaan ada tidaknya sperma dan komponen cairan mani. Untuk uji penyaring cairan mani dilakukan pemeriksaan fosfatase asam. Jika uji ini negatif, kemungkinan adanya ejakulasi dapat disingkirkan. Sebaliknya jika uji ini positif, maka perlu dilakukan uji pemastian ada tidak sel sperma dan cairan mani.

Usapan lidi kapas diambil dari daerah labia minora, liang vagina dan kulit yang menunjukkan adanya kerak. Adanya rambut kemaluan yang menggumpal harus diambil dengan cara digunting, karena umumnya merupakan akibat ejakulasi di daerah luar vagina.

Untuk mendeteksi ada tidaknya sel mani dari bahan swab dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopik secara langsung terhadap ekstrak atau dengan Pembuatan preparat tipis yang diwarnai dengan pewarnaan malachite green atau christmas tree.

Jika yang akan diperiksa sampel berupa bercak peda pakaian dapat dilakukan pemeriksaan Baechi, dimana adanya sperma akan tampak berupa sel sperma yang terjebak diantara serat pakaian. Sel sperma positip merupakan tanda pasti adanya ejakulasi. Kendala utama pada pemeriksaan ini adalah jika sel sperma telah hancur bagian ekor dan lehernya sehingga hanya tampak kepalanya saja. Untuk mendeteksi kepala sperma semacam ini harus diyakini bahwa memang kepala tersebut masih memiliki topi (akrosom).

Adanya cairan mani dicari dengan pemeriksaan terhadap beberapa komponen sekret kelenjar kelamin pria (khususnya kelenjar prostat) yaitu spermin (dengan uji Florence), cholin (dengan uji Berberio) dan zink (dengan uji PAN) . Suatu temuan berupa sel sperma negatif tapi komponen cairan mani positip menunjukkan kemungkinan ejakulasi oleh pria yang tak memiliki sel sperma (azoospermi) atau telah menjalani sterilisasi atau vasektomi.

Dampak perkosaan

Dampak perkosaan berupa terjadinya gangguan jiwa, kehamilan atau timbulnya penyakit kelamin harus dapat dideteksi secara dini. Khusus untuk dua hal terakhir, pencegahan dengan memberikan pil kontrasepsi serta antibiotic lebih bijaksana dilakukan ketimbang menunggu sampai komplikasi tersebut muncul.

Pelaku perkosaan

Aspek pelaku perkosaan merupakan merupakan aspek yang paling sering dilupakan oleh dokter. Padahal tanpa adanya pemeriksaan kearah ini, walaupun telah terbukti adanya kemungkinan perkosaan. amatlah sulit menuduh seseorang sebagai pelaku pemerkosaan. Untuk mendapatkan informasi ini dapat dilakukan pemeriksaan kutikula rambut dan pemeriksaan golongan darah dan pemeriksaan DNA dari sampel yang positip sperma/maninya.

PEMERIKSAAN DNA DALAM BIDANG KEDOKTERAN FORENSIK

Pertama kali diperkenalkan oleh Jeffrey pada tahun 1985. Beliau menemukan bahwa pita DNA dari setiap individu dapat dilacak secara simultan pada banyak lokus sekaligus dengan pelacak DNA (DNA probe) yang diciptakannya.

Pola DNA ini dapat divisualisasikan berupa urutan pita-pita yang berbaris membentuk susunan yang mirip dengan gambaran barcode pada barang di supermarket. Uniknya ternyata pita-pita DNA ini bersifat spesifik individu, sehingga tak ada orang yang memiliki pita yang sama persis dengan orang lain.

Pada kasus perkosaan ditemukannya pita-pita DNA dari benda bukti atau karban yang ternyata identik dengan pita-pita DNA tersangka menunjukkan bahwa tersangkalah yang menjadi donor sperma tadi. Adanya kemungkinan percampuran antara sperma pelaku dan cairan vagina tidak menjadi masalah, karena pada proses kedua jenis DNA ini dapat dipisahkan satu sama lain. Satu-satunya kesalahan yang mungkin terjadi adalah kalau pelakunya ternyata adalah saudara kembar identik dari si tersangka, karena keduanya memiliki pita DNA yang sama persis.

Perkembangan lebih lanjut pada bidang forensik adalah ditemukannya pelacak DNA yang hanya melacak satu lokus saja (single locus probe) . Berbeda dengan tehnik Jeffreys yang menghasilkan banyak pita, disini pita yang muncul hanya 2 buah saja. Penggunaan metode ini pada kasus perkosaan sangat menguntungkan karena ia dapat digunakan untuk membuat perkiraan jumlah pelaku pada kasus perkosaan dengan pelaku lebih dari satu. Sebagai contoh, jika pita DNA pada bahan usapan vagina ada 6 buah, maka sedikitnya ada (6 : 2) yaitu 3 orang pelaku. Untuk mempertinggi derajat keakuratan pemeriksaan ini, umumnya dilakukan pemeriksaan beberapa lokus sekaligus. Adanya pita yang sama dengan tersangka menunjukkan bahwa tersangka itu adalah pelakunya, sedang pita yang tidak sama menyingkirkan tersangka sebagai pelaku.

Ditemukannya metode penggandaan DNA secara enzimatik (metode Polymerase Chain Reaction atau PCR) oleh kelompok Cetus, membuka lebih banyak kemungkinan pemeriksaan DNA. Dengan metode ini bahan sampel yang amat minim jumlahnya tidak lagi menjadi masalah karena DNAnya dapat diperbanyak jutaan sampai milyaran kali lipat di dalam mesin yang dinamakan mesin PCR atau thermocycler. Dengan metode ini waktu pemeriksaan juga banyak dipersingkat, lebih sensitif serta lebih spesifik pula. Pada metode ini analisis DNA dapat dilakukan dengan sistim dotblot yang berbentuk bulatan berwarna biru, sistim elektroforesis yang berbentuk pita DNA atau dengan pelacakan urutan basa dengan metode sekuensing.

di tulis ulang oleh : 25 Desember 2009

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

email : dodo.widjanarko@gmail.com