Tampilkan postingan dengan label Penatalaksanaan Intrapartum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Penatalaksanaan Intrapartum. Tampilkan semua postingan

Senin, 03 Oktober 2011

PENGAMATAN JANIN INTRAPARTUM

PEMERIKSAAN KESEHATAN JANIN
Detik jantung janin dapat dinilai melalui 2 cara :
  1. Auskultasi berkala dengan fetoskop atau doppler
  2. Pemantauan elektronik janin berkelanjutancontinous electronic fetal monitoring

PEMANTAUAN ELEKTRONIK JANIN BERKELANJUTAN
(Continuous Electronic Fetal Monitoring )
Dikerjakan pada kehamilan resiko tinggi setiap 15 menit pada kala I persalinan dan tiap 5 menit pada kala II persalinan.
Pemantauan dapat dilakukan dengan 2 cara :
  1. Pemantauan INTERNAL dengan meletakkan elektrode EKG pada kulit kepala janin (selaput ketuban sudah pecah / dipecah).
  2. Pemantauan EKSTERNAL (indirect) dimana DJJ dan kontraksi uterus dipantau melalui transduser yang diletakkan pada dinding abdomen ibu .

image

 NON STRESS TEST

Dugaan terjadinya gangguan kesehatan janin adalah indikasi untuk melakukan pemeriksaan kesehatan janin:
  1. Ibu berbaring dan miring kiri.
  2. DJJ dan kontraksi uterus dipantau terus menerus melalui transduser pada dinding abdomen ibu.
  3. Ibu diminta memencet tombol khusus saat merasakan adanya gerakan janin
  4. Ditentukan adanya perubahan pada frekuensi DJJ akibat gerakan janin dan kontraksi uterus: 1) NORMAL: Respon perubahan DJJ saat ada gerakan janin adalah > 15 dpm diatas nilai dasar dan sekurang kurangnya berlangsung selama 15 detik
    2) REAKTIF : Bila terdapat 2 akselerasi dalam periode 20 menit dan janin dalam keadaan baik
Hasil NST non REAKTIF adalah indikasi untuk pemeriksaan PROFIL BIOFISIK.
CONTRACTION STRESS TEST
  • CST mengukur respon frekuensi DJJ terhadap kontraksi uterus yang dibangkittan secara artifisial (oksitosin infus). Sekurangnya diperlukan adanya 3 his – kontraksi utrerus dalam 10 menitgar dapat meng interpretasi test ini.
  • CST NEGATIF : Tidak ada deselerasi yang bersamaan dengan his ( hasil ini meyakinkan)
  • CST POSITIF: terjadi deselerasi variabel berat atau deselerasi lanjut pada >  50% his yang terjadi. Hal ini terkait dengan outcome perinatal buruk pada 35 – 40% kasus
    • Tingkat positif palsu mencapai 50%
  • CST equivokal harus diulang dalam waktu 24 – 72 jam dan lebih dari 80% hasil ulangan memperlihatkan hasil negatif  
GRAFIK GERAK JANIN – “KICK CHART”
  • Hasil penilaian dapat diandalkan
  • Gerak janin semakin lambat dengan:
    • Usia kehamilan
    • Olgohidramnion
    • Merokok
    • Terapi kortikosteroid
  • Grafik “ kicck chart” : semua gerakan janin yang dirasakan ibu selama 11 jam.
PROFIL BIOFISIK
Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi dan kardiotokografi dan menentukan 5 parameter :
  1. Gerakan pernafasan janin ( gerakan dinding torak )
  2. Aktivitas janin ( gerakan kasar tubuh atau ekstrimitas janin)
  3. “Amniotic Fluid Index”
  4. Tonus Janin (fleksi atau ekstensi sendi ekstrimitas janin)
  5. Reaktivitas ( “non-stress test” )
Masing masing parameter diberi skore 0 – 1 – 2 dan profil disebut normal bila jumlah skore 8 – 10.
Catatan:
  • Skore ≥ 6 , harus dilihat skore AFI ; bila hasilnya baik maka keadaan janin normal
  • Skore 2 , kehamilan harus segera diakhiri dengan seksio sesar
  • Skore 4 , harus segera diterminasi sesuai dengan syarat dan indikasi yang ada saat itu.
image

Selasa, 27 September 2011

INDUKSI dan AKSELERASI PERSALINAN

dr.Bambang Widjanarko, SpOG

Angka tindakan pemberian oksitosin baik dengan tujuan induksi persalinan atau mempercepat jalannya persalinan (augmentation labor atau akselerasi persalinan) meningkat dari 20% pada tahun 1989 menjadi 38% pada tahun 2002.
Pembahasan berikut ini menyangkut deskripsi berbagai tehnik pematangan servik dan sejumlah skema induksi atau akselerasi persalinan.

KONSEP UMUM
INDUKSI PERSALINAN ELEKTIF
Saat ini sudah terbukti bahwa tindakan induksi persalinan semakin sering dilakukan. American College of Obstetricians and Gynecologists (1999a) berdasarkan resiko persalinan yang berlangsung secara cepat, tidak mendukung tindakan ini kecuali untuk indikasi-indikasi tertentu (rumah parturien yang jauh dari rumah sakit atau alasan psikososial).
Luthy dkk (2002): Tindakan induksi persalinan berhubungan dengan kenaikan angka kejadian tindakan sectio caesar.
Hoffman dan Sciscione (2003): Induksi persalinan elektif menyebabkan peningkatan kejadian sectio caesar 2 – 3 kali lipat.
Induksi persalinan elektif pada kehamilan aterm sebaiknya tidak dilakukan secara rutin mengingat bahwa tindakan sectio caesar dapat meningkatkan resiko yang berat sekalipun jarang dari pemburukan out come maternal termasuk kematian.
Induksi persalinan eletif yang dirasa perlu dilakukan saat aterm (≥ 38 minggu) perlu pembahasan secara mendalam antara dokter dengan pasien dan keluarganya.
INDUKSI PERSALINAN ATAS INDIKASI
Tindakan induksi persalinan dilakukan bila hal tersebut dapat memberi manfaat bagi ibu dan atau anaknya.
INDIKASI:
  1. Ketuban pecah dini dengan chorioamnionitis
  2. Pre-eklampsia berat
  3. Ketuban pcah dini tanpa diikuti dengan persalinan
  4. Hipertensi dalam kehamilan
  5. Gawat janin
  6. Kehamilan postterm









KONTRA INDIKASI:
  1. Cacat rahim ( akibat sectio caesar jenis klasik atau miomektomi intramural)
  2. Grande multipara
  3. Plasenta previa
  4. Insufisiensi plasenta
  5. Makrosomia
  6. Hidrosepalus
  7. Kelainan letak janin
  8. Gawat janin
  9. Ragangan berlebihan uterus : gemeli dan hidramnion
  10. Kontra indikasi persalinan spontan pervaginam:
    • Kelainan panggul ibu (kelainan bentuk anatomis, panggul sempit)
    • Infeksi herpes genitalis aktif
    • Karsinoma Servik Uteri

PEMATANGAN SERVIK PRA INDUKSI PERSALINAN
Tingkat kematangan servik merupakan faktor penentu keberhasilan tindakan induksi persalinan.
Tingkat kematangan servik dapat ditentukan secara kuantitatif dengan “BISHOP SCORE” yang dapat dilihat pada tabel 1
Nilai > 9 menunjukkan derajat kematangan servik yang paling baik dengan angka keberhasilan induksi persalinan yang tinggi
Umumnya induksi persalinan yang dilakukan pada kasus dilatasi servik 2 cm, pendataran servik 80% , kondisi servik lunak dengan posisi tengah dan derajat desensus -1 akan berhasil dengan baik.
Akan tetapi sebagian besar kasus menunjukkan bahwa ibu hamil dengan induksi persalinan memiliki servik yang tidak “favourable” ( Skoring Bishop < 4 ) untuk dilakukannya induksi persalinan.

Tabel 1 Sistem Skoring Servik “BISHOP” yang digunakan untuk menilai derajat kematangan servik
Sistem Skoring Servik

METODE PEMATANGAN SERVIK MEDIKAMENTOSA
Prostaglandine E2
Dinoprostone lokal dalam bentuk jelly ( Prepidil ) yang diberikan dengan aplikator khusus intraservikal dengan dosis 0.5 mg.
Dinoproston vaginal suppositoria 10 mg (Cervidil).
Pemberian prostaglandine harus dilakukan di kamar bersalin.
Pemberian oksitosin drip paling cepat diberikan dalam waktu 6 – 12 jam pasca pemberian prostaglandine E2.
Efek samping: Tachysystole uterine pada 1 – 5% kasus yang mendapat prostaglandine suppositoria.

Prostaglandine E1
Misoprostol (Cytotec) dengan sediaan 100 dan 200 µg.
Pemberian secara intravagina dengan dosis 25 µg pada fornix posterior dan dapat diulang pemberiannya setelah 6 jam bila kontraksi uterus masih belum terdapat.
Bila dengan dosis 2 x 25 µg masih belum terdapat kontraksi uterus, berikan ulang dengan dosis 50 µg.
Pemberian Misoprostol maksimum pada setiap pemberian dan dosis maksimum adalah 4 x 50 µg ( 200 µg ).
Dosis 50 µg sering menyebabkan :
  • Tachysystole uterin
  • Mekonium dalam air ketuban
  • Aspirasi Mekonium
Pemberian per oral: Pemberian 100 µg misoprostol peroral setara dengan pemberian 25 µg per vaginam

METODE PEMATANGAN SERVIK MEKANIS
  1. Pemasangan kateter transervikal
  2. Dilatator servik higroskopik ( batang laminaria )
  3. “stripping” of the membrane

Pemasangan kateter Foley transervikal.
image
Tidak boleh dikerjakan pada kasus perdarahan antepartum, ketuban pecah dini atau infeksi.
Tehnik:
  • Pasang spekulum pada vagina
  • Masukkan kateter Foley pelan-pelan melalui servik dengan menggunakan cunam tampon.
  • Pastikan ujung kateter telah melewati osttium uter internum
  • Gelembungkan balon kateter dengan memasukkan 10 ml air
  • Gulung sisa kateter dan letakkan dalam vagina
  • Diamkan kateter dalam vagina sampai timbul kontraksi uterus atau maksimal 12 jam
  • Kempiskan balon kateter sebelum mengeluarkannya dan kemudian lanjutkan dengan infuse oksitosin.
 
Dilatator servik higroskopik
Dilakukan dengan batang laminaria.
Dilakukan pada keadaan dimana servik masih belum membuka.
Pemasangan laminaria dalam kanalis servikalis.
12 – 18 jam kemudian kalau perlu dilanjutkan dengan infus oksitosin sebelum kuretase.
clip_image002[4]
Gambar 1:
  1. Pemasangan laminaria didalam kanalis servikalis
  2. Laminaria mengembang
  3. Ujung laminaria melebihi ostium uteri internum (pemasangan yang salah)
  4. Ujung laminaria tidak melewati ostium uteri internum (pemasangan yang salah)
Stripping of the membrane”
image
Metode efektif dan aman untuk mencegah kehamilan posterm.
Menyebabkan peningkatan kadar Prostaglandine serum.

INDUKSI &amp; AKSELERASI PERSALINAN
Dilakukan dengan menggunakan oksitosin sintetis.
Induksi persalinan dan akselerasi persalinan dilakukan dengan cara yang sama tapi dengan tujuan yang berbeda.

Induksi Persalinan (induction of labour): merangsang uterus untuk mengawali proses persalinan.
Akselerasi Persalinan (augmented of labour) : merangsang uterus pada proses persalinan untuk meningkatkan frekuensi – durasi dan kekuatan kontraksi uterus [HIS].
Pola persalinan yang BAIK adalah bila terdapat 3 HIS dalam 10 menit dengan masing-masing HIS berlangsung sekitar 40 detik.
Bila selaput ketuban masih utuh, dianjurkan bahwa sebelum melakukan induksi atau akselerasi persalinan terlebih dahulu dilakukan Pemecahan Selaput Ketuban (ARM ~ Artificial Rupture of Membranes atau amniotomi)
AMNIOTOMI
Pecahnya selaput ketuban (spontan atau artifisial ) akan mengawali rangkaian proses berikut:
  • Cairan amnion mengalir keluar dan volume uterus menurun;
  • Produksi prostaglandine, sehingga merangsang proses persalinan;
  • HIS mulai terjadi (bila pasien belum inpartu) ; menjadi semakin kuat ( bila sudah inpartu)

Tehnik :
image

Perhatikan indikasi!!
  • CATATAN : Pada daerah dengan prevalensi HIV tinggi, pertahankan selaput ketuban selama mungkin untuk mengurangi resiko penularan HIV perinatal
  • Dengar dan catat DJJ
  • Baringkan pasien dengan tungkai fleksi dan kedua tungkai saling menjauh dan kedua lutut terbuka
  • Gunakan sarung tangan steril, lakukan VT dengan tangan kanan untuk menilai konsistensi – posisi – dilatasi dan pendataran servik
  • Masukkan “amniotic hook” kedalam vagina
  • Tuntun “amniotic hook” kearah selaput ketuban dengan menyusuri jari-jari dalam vagina
  • Dorong selaput ketuban dengan jari-jari dalam vagina dan pecahkan selaput ketuban dengan ujung instrumen
  • Biarkan cairan amnion mengalir perlahan sekitar jari dan amati cairan amnion yang keluar
  • Setelah pemecahan ketuban, dengarkan DJJ selama dan setelah HIS
  • Bila DJJ < 100 atau > 180 dpm : dugaan terjadi GAWAT JANIN .
  • Bila persalinan diperkirakan TIDAK TERJADI DALAM 18 JAM berikan antibiotika profilaksis untuk mengurangi kemungkinan infeksi GBS pada neonatus:
  • Penicillin G 2 juta units IV; atau Ampicillin 2 g IV, tiap 6 jam sampai persalinan; Bila tidak ditemukan gejala infeksi pasca persalinan, hentikan pemberian antibiotika
  • Bila setelah 1 jam tidak nampak tanda-tanda kemajuan persalinan MULAILAH PEMBERIAN OKSITOSIN INFUS
  • Bila indikasi induksi persalinan adalah PENYAKIT MATERNAL IBU YANG BERAT ( sepsis atau eklampsia) mulailah melakukan infuse oksitosin segera setelah amniotomi.
Komplikasi amniotomi:
  1. Infeksi
  2. Prolapsus funikuli
  3. Gawat janin
  4. Solusio plasenta

TEHNIK PEMBERIAN OKSITOSIN DRIP
  1. Pasien berbaring di tempat tidur dan tidur miring kiri
  2. Lakukan penilaian terhadap tingkat kematangan servik.
  3. Lakukan penilaian denyut nadi, tekanan darah dan his serta denyut jantung janin
  4. Catat semua hasil penilaian pada partogram
  5. 2.5 - 5 unit Oksitosin dilarutkan dalam 500 ml Dekstrose 5% (atau PZ) dan diberikan dengan dosis awal 10 tetes per menit.
  6. Naikkan jumlah tetesan sebesar 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus yang adekuat.
  7. Jika terjadi hiperstimulasi (lama kontraksi > 60 detik atau lebih dari 4 kali kontraksi per 10 menit) hentikan infus dan kurangi hiperstimulasi dengan pemberian:
    • Terbutalin 250 mcg IV perlahan selama 5 menit atau
    • Salbutamol 5 mg dalam 500 ml cairan RL 10 tetes permenit
    1. Jika tidak tercapai kontraksi yang adekuat setelah jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit:
    2. Naikkan konsentrasi oksitosin menjadi 5 unit dalam 500 ml dekstrose 5% (atau PZ) dan sesuaikan tetesan infuse sampai 30 tetes per menit (15mU/menit)
    3. Naikan jumlah tetesan infuse 10 tetes per menit setiap 30 menit sampai kontraksi uterus menjadi adekuat atau jumlah tetesan mencapai 60 tetes per menit.
    Jika masih tidak tercapai kontraksi uterus adekuat dengan konsentrasi yang lebih tinggi tersebut maka:
    • Pada multipgravida : induksi dianggap gagal dan lakukan sectio caesar.
    • Pada primigravida, infuse oksitosin dapat dinaikkan konsentrasinya yaitu :
      • 10 Unit dalam 400 ml Dextrose 5% (atau PZ) , 30 tetes permenit
      • Naikkan jumlah tetesan dengan 10 tetes permenit setiap 30 menit sampai tercapai kontraksi uterus adekuat.
      • Jika sudah mencapai 60 tetes per menit, kontraksi uterus masih tidak adekuat maka induksi dianggap gagal dan lakukan Sectio Caesar.
    Jangan berikan oksitosin 10 Unit dalam 500 ml Dextrose 5% pada pasien multigravida dan atau penderita bekas sectio caesar
    Rujukan :
    1. Bujold E, Blackwell SC, Gauthier RJ: Cervical ripening with transervical foley catheter and the risk of uterine rupture. Obstet Gynecol 103:18, 2004
    2. Culver J, Staruss RA,Brody S, et al: A randomized trial comapring vaginal misoprostol versus Foley catheter with concurrent oxytocin for labor induction in nulliparous women. Am J Perinatol 21:139, 2004
    3. Cunningham FG (editorial) : Induction of labor in “William Obstetrics” 22nd ed p 536 – 545 , Mc GrawHill Companies 2005
    4. Guinn DA et al : Extra-amniotic saline infusion, laminaria, or prostaglandine E2 gel for labor induction with unfavourable cervix: A randomized trial. Obstet Gynecl 96:106, 2000
    5. HoffmanMK, Sciscione AC : Elective induction with cervical ripening increase the risk of caesarean delivery in multiparous women. Obstet Gynecol 101:7S, 2003
    6. Saiffudin AB (ed): Induksi dan Akselerasi persalinan dalam “Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal Dan Neonatal” YBPSP,Jakarta, 2002
    7. Smith KM, Hoffman MK, Sciscione A: Elective induction of labor in nulliparous women increase the risk of caesarean delivery. Obstet Gynecol 101, 45S, 2003

    Minggu, 18 September 2011

    PRESENTASI SUNGSANG

    PENDAHULUAN
    Presentasi sungsang terjadi bila panggul atau ekstrimitas bawah janin berada di pintu atas panggul.
    Angka kejadian 3 – 4%
    Terdapat 3 jenis presentasi sungsang :
    image

    Frank Breech : Sendi lutut ekstensi dan sendi paha fleksi
    Complete Breech : [bokong murni-bokong sempurna] sendi lutut dan sendi paha dalam keadaan fleksi sehingga pada VT teraba bokong & kaki
    Incomplete Breech : [bokong tak sempurna] letak satu atau kedua kaki dibawah bokong [presentasi kaki atau footling breech]
    Presentasi sungsang pada kehamilan tunggal dengan berat badan < 2500 gram:
    • 40% adalah Frank Breech
    • 10% adalah Complete Breech
    • 50% adalah Footling Breech
    Presentasi sungsang pada kehamilan tunggal dengan Berat Badan Janin > 2500 gram:
    • 65% adalah Frank Breech
    • 10% adalah Complete Breech
    • 25% adalah Footling Breech

    Posisi janin pada presentasi sungsang ditentukan dengan menggunakan sacrum sebagai denominator [“fetal point of reference to the maternal pelvis”]
    Station janin pada presentasi sungsang adalah ketinggian sacrum terhadap spina ischiadica.

    ETIOLOGI
    1. Kehamilan prematur
    2. Hidramnion , Oligohidramnion
    3. Kelainan uterus (uterus bicornu atau uterus septum)
    4. Tumor panggul
    5. Plasentasi abnormal
    6. Grandemultipara
    7. Panggul sempit
    8. Hidrosepalus, anensepalus
    9. Kehamilan kembar
    DIAGNOSIS
    1. Palpasi dan Balotemen: Leopold I : teraba kepala (balotemen) di fundus uteri
    2. Vaginal Toucher : teraba bokong yang lunak dan iregular
    3. X-ray : Dapat membedakan dengan presentasi kepala dan pemeriksaan ini penting untuk menentukan jenis presentasi sungsang dan jumlah kehamilan serta adanya kelainan kongenital lain
    4. Ultrasonografi: Pemeriksaan USG yang dilakukan oleh operator berpengalaman dapat menentukan :
      1. Presentasi janin
      2. Ukuran
      3. Jumlah kehamilan
      4. Lokasi plasenta
      5. Jumlah cairan amnion
      6. Malformasi jaringan lunak atau tulang janin
    image
    Pemeriksaan radiologi yang menunjukkan adanya presentasi sungsang dengan jenis Frank Breech

    PENATALAKSANAAN
     

    A. Penatalaksanaan antepartum
    Setelah konfirmasi presentasi sungsang, dilakukan pengamatan terhadap kemungkinan terjadinya versi spontan.
    Pada keadaan dimana presentasi sungsang menetap sampai kehamilan 36 minggu, lakukan versi luar bila tak ada kontra indikasi.
    Kapasitas panggul harus ditentukan dengan cermat, perlu diingat bahwa kesulitan persalinan sungsang pervaginam masih dapat terjadi meskipun kapasitas panggul memadai.
    Tabel : Sistem skoring untuk menentukan keberhasilan versi luar
    image
    Pada score < 2 , keberhasilan 0% dan pada score > 9 keberhasilan mencapai 100%.
    Manfaat klinis dari skoring ini diragukan oleh karena adanya overlaping scoring dalam menentukan keberhasilan VL.

    B. Penatalaksanaan intrapartum
    1. Pemeriksaan
      • Pasien harus dirawat di RS bila terdapat tanda persalinan atau terjadi ketuban pecah ( dikhawatirkan terjadi prolapsus talipusat)
      • Di RS dilakukan pemeriksaan USG ulangan untuk memastikan jenis persalinan sungsang – fleksi kepala janin – kelainan kongenital.
      • Lakukan anamnesa dan pemeriksaan untuk menentukan keadaan ibu dan anak.
      • Tentukan cara persalinan yang dipilih.
    2. Pemantauan kesehatan janin
      • Selama persalinan, bila mungkin lakukan pemantauan detik jantung janin secara terus menerus ( electronic fetal heart rate monitoring)
    3. Oksitosin drip
      • Penggunaan oksitosin drip pada presentasi sungsang adalah hal yang kontroversi.
      • Umumnya oksitosin dapat digunakan bila kontraksi uterus tidak memuaskan dengan pengawasan pada ibu dan anak secara ketat.
    C. Persalinan
    Penentuan cara persalinan adalah sangat individual, kriteria pada tabel berikut dibawah ini dapat digunakan untuk menentukan cara persalinan
    Tabel : Kriteria pemilihan jenis persalinan sungsang
    image

    Metode lain untuk menentukan cara persalinan adalah dengan menggunakan Zahtuni Andros Breech Scoring seperti terlihat pada tabel  dibawah ini :

    Skoring Zatuchni-Andros Breech
    image

    Persalinan sungsang pervaginam dengan prognosis baik bila Zatuchni Andros skoring antara 0 – 4.
    Persalinan sungsang perabdominal dengan SC saat ini lebih sering dilakukan.
    Data terbaru menunjukkan bahwa cara persalinan pada presentasi sungsang tidak mempengaruhi morbiditas jangka panjang pada janin.
    Resiko umum SC terhadap ibu (perdarahan, anestesi dan infeksi) dan resiko janin pada persalinan sungsang pervaginam(asfiksia dan trauma) harus merupakan pertimbangan kuat dalam pengambilan keputusan mengenai cara persalinan yang dipilih.
    Ahli obstetri yang memilih persalinan dengan SC umumnya dengan alasan :
    1. Cedera persalinan sungsang perabdominal lebih rendah dibandingkan persalinan pervaginam.
    2. Banyak pasangan yang mempunyai pandangan “anak sedikit” dan membutuhkan anak yang “perfect” sehingga memilih persalinan sungsang perabdominal.
    3. 30 – 40% trial of labor pada persalinan sungsang berakhir dengan persalinan SC.
    4. SC pada masa sekarang adalah operasi yang “aman”.
    Ahli obstetri yang cenderung untuk mencoba berlangsungnya persalinan sungsang pervaginam umumnya memiliki alasan:
    1. Morbiditas maternal pada SC lebih besar.
    2. 5 – 15% janin pada presentasi sungsang disertai dengan kelaina kongenital.
    3. Sejumlah ibu ingin memiliki pengalaman persalinan pervaginam.
    • Persalinan dengan Sectio Caesar
      Jenis insisi SBR yang dipilih pada saat SC sangat penting. Bila SBR sudah terbentuk dengan baik maka dengan insisi melintang pada SBR, persalinan sungsang dapat diselesaikan tanpa banyak kesulitan. Pada kehamilan prematur dan pasien yang belum inpartu atau pada beberapa kelainan letak lain, SBR cukup sempit sehingga sebaiknya dilakukan insisi vertikal untuk menghindari cedera persalinan yang lebih luas [cedera pada vesika urinaria ].
      • Persalinan pervaginam
        Dokter yang akan menolong persalinan sungsang pervaginam perlu menguasai maneuver dalam persalinan sungsang pervaginam dan hendaknya didampingi oleh 4 orang asisten : (1) ahli obstetri yang berpengalaman (2) ahli anak yang mampu memberikan pertolongan resusitasi pada anak dan(3) anaesthesiolog yang dibutuhkan untuk memberikan kenyamanan pada ibu bersalin (4)paramedis yang memahami proses dan penatalaksanaan persalinan sungsang per vaginam.

        PERSALINAN PERVAGINAM
        Mekanisme persalinan sungsang pervaginam berlangsung melalui “seven cardinal movement” yang terjadi pada masing-masing tahapan persalinan sungsang pervaginam:
        1. Persalinan Bokong
        2. Persalinan Bahu
        3. Persalinan Kepala
        Persalinan sungsang pervaginam secara spontan (sungsang “Bracht”) dapat dibagi menjadi 3 tahap :
        1. Fase Lambat Pertama
          • Tahapan persalinan dari bokong sampai umbilikus
          • Disebut fase lambat oleh karena pada fase ini umumnya tidak terdapat hal-hal yang membahayakan jalannya persalinan.
          • Pada fase ini, penolong bersikap pasif menunggu jalannya persalinan.
        2. Fase Cepat
          • Tahapan persalinan dari umbilikus sampai mulut.
          • Disebut fase cepat oleh karena dalam waktu < 8 menit ( 1 – 2 kali kontraksi uterus ) fase ini harus sudah berakhir.
          • Pada fase ini, talipusat berada diantara kepala janin dengan PAP sehingga dapat menyebabkan terjadinya asfiksia janin.
        3. Fase lambat Kedua
          • Tahapan persalinan dari mulut sampai seluruh kepala.
          • Pertolongan pada tahap persalinan ini tidak boleh tergesa-gesa oleh karena persalinan kepala yang terlalu cepat pada presentasi sungsang dapat menyebabkan terjadinya dekompresi mendadak pada kepala janin yang menyebabkan perdarahan intrakranial.
        TAHAPAN PERSALINAN SUNGSANG PER VAGINAM:

        image
          • Presentasi sungsang dengan sacrum kanan depan.
          • Ø  bitrochanteric bokong masuk panggul pada Ø tranversal panggul ibu.
          • Pada saat dilatasi servik lengkap. bokong mengalami desensus lebih lanjut kedalam panggul
        image
        • Pada saat bokong mencapai dasar panggul, saluran jalan lahir menyebabkan bokong mengalami PPD sehingga Ø bitrochanterica berada pada Ø antero-posterior PBP
        image
        • Bokong depan nampak di vulva
        • Dengan his berikutnya, bokong akan meregang PBP.
        • Terjadi laterofleksi tubuh janin dan bahu berputar sehingga akan melewati PAP.
        • Pada saat ini, penolong persalinan mengenakan perlengkapan persalinan dan siap untuk melakukan pertolongan persalinan .
        image
        • Bokong sudah lahir dan bahu saat ini masuk pada Ø tranversa PAP.
        • Gerakan ini menyebabkan terjadinya PPL bokong sehingga punggung anak menghadap atas.
        image
        • Bahu anak melewati saluran jalan lahir dan mengalami PPD sehingga Ø bis-achromial menempati diameter anteroposterior PBP.
        • Secara serempak, bokong berputar keanterior sejauh 900 (restitusi)
        • Kepala janin sekarang memasuki (engagemen) PAP dengan sutura sagitalis berada pada Ø tranversalis PAP.
        • Desensus kedalam pelvis terjadi dengan kepala dalam keadaan fleksi.
        image
        • Bahu depan lahir dari belakang Simfisis Pubis melalui gerakan laterofleksi.
        image
        Gambar
        1. Anak dibiarkan tergantung beberapa saat didepan vulva. Dilakukan tekanan pada daerah suprasimfisis untuk menambah fleksi kepala (bukan mendorong fundus uteri). Bila tengkuk anak sudah terlihat, penolong persalinan memegang kaki anak dan melakukan gerakan melingkar keatas.
        2. Manuver ini menggunakan referensi tepi bawah sacrum, menarik kepala anak kebawah dan memutar melalui PBP sehingga dagu, hidung dan dahi nampak dan lahir didepan vulva.
        PROGNOSIS
        Dibandingkan persalinan pervaginam pada presentasi belakang kepala, morbiditas dan mortalitas ibu dan atau anak pada persalinan sungsang pervaginam lebih besar.
        Morbiditas maternal : lebih tingginya frekuensi persalinan operatif pada presentasi sungsang termasuk sectio caesar menyebabkan peningkatan morbiditas ibu antara lain :
        1. Morbiditas infeksi.
        2. Ruptura uteri.
        3. Laserasi servik.
        4. Luka episiotomi yang meluas.
        5. Atonia uteri akibat penggunaan analgesi sehingga terjadi perdarahan pasca persalinan.
        Morbiditas dan mortalitas perinatal : lebih tinggi dibandingkan pada presentasi belakang kepala (vertex).
        Trauma persalinan :
        1. Fraktura humerus dan klavikula.
        2. Cedera pada muskulus sternocleiodomastoideus.
        3. Paralisa tangan akibat cedera pada pleksus brachialis saat melahirkan bahu.
        Mortalitas perinatal terutama akibat :
        1. Persalinan preterm.
        2. Asfiksia intrapartum ( janin sudah berusaha bernafas saat kepala masih berada dalam jalan lahir oleh karena sebagian besar tubuh janin sudah berada diluar jalan lahir sehingga menimbulkan refleks bernafas pada janin)
        3. Kelainan kongenital.


        image
        Footling breech presentation.
        Once the feet have delivered, one may be tempted to pull on the feet. However, a singleton gestation should not be pulled by the feet because this action may precipitate head entrapment in an incompletely dilated cervix or may precipitate nuchal arms.
        As long as the fetal heart rate is stable and no physical evidence of a prolapsed cord is evident, management may be expectant while awaiting full cervical dilation.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        Thick meconium passage is common as the breech is squeezed through the birth canal. This is usually not associated with meconium aspiration because the meconium passes out of the vagina and does not mix with the amniotic fluid.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        The Ritgen maneuver is applied to take pressure off the perineum during vaginal delivery.
        Episiotomies are often performed for assisted vaginal breech deliveries, even in multiparous women, to prevent soft tissue dystocia.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        No downward or outward traction is applied to the fetus until the umbilicus has been reached.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        With a towel wrapped around the fetal hips, gentle downward and outward traction is applied in conjunction with maternal expulsive efforts until the scapula is reached.
        An assistant should be applying gentle fundal pressure to keep the fetal head flexed.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        After the scapula is reached, the fetus should be rotated 90° in order to deliver the anterior arm.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        The anterior arm is followed to the elbow, and the arm is swept out of the vagina.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        The fetus is rotated 180°, and the contralateral arm is delivered in a similar manner as the first.
        The infant is then rotated 90° to the backup position in preparation for delivery of the head.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        The fetal head is maintained in a flexed position by using the Mauriceau maneuver, which is performed by placing the index and middle fingers over the maxillary prominence on either side of the nose.
        The fetal body is supported in a neutral position, with care to not overextend the neck.
        image
        Piper forceps application.
        Piper forceps are specialized forceps used only for the after-coming head of a breech presentation. They are used to keep the fetal head flexed during extraction of the head. An assistant is needed to hold the infant while the operator gets on one knee to apply the forceps from below.
        image
        Assisted vaginal breech delivery.
        Low 1-minute Apgar scores are not uncommon after a vaginal breech delivery. A pediatrician should be present for the delivery in the event that neonatal resuscitation is needed.
        Rujukan :
        1. Alarab M, Regan C, O'Connell MP, et al: Singleton vaginal breech delivery at term: still a safe option. Obstet Gynecol 2004 Mar; 103(3): 407-12
        2. American College of Obstetricians and Gynecologists: ACOG committee opinion. Mode of term singleton breech delivery. Number 265, December 2001. American College of Obstetricians and Gynecologists. Int J Gynaecol Obstet 2002 Apr; 77(1) : 65-6
        3. Cunningham FG et al : Breech Presentation and Delivery , Williams Obstetrics 22nd ed McGraw Hill, 2005
        4. Hannah ME, Hannah WJ, Hewson SA, et al: Planned caesarean section versus planned vaginal birth for breech presentation at term: a randomised multicentre trial. Term Breech Trial Collaborative Group. Lancet 2000 Oct 21; 356(9239): 1375-83
        5. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
        6. Newman RB, Peacock BS, VanDorsten JP, Hunt HH: Predicting success of external cephalic version. Am J Obstet Gynecol 1993 Aug; 169(2 Pt 1): 245-9; discussion 249-50
        7. Vézina Y, Bujold E, Varin J, et al: Cesarean delivery after successful external cephalic version of breech presentation at term: A comparative study. Am J Obstet Gynecol 2004 Mar; 190(3): 763-8
        8. http://emedicine.medscape.com/article/262159-overview#a1 assesed September 2011

        DISTOSIA AKIBAT GANGGUAN pada JALAN LAHIR

        PENDAHULUAN


        DISPROPORSI SEPALOPELVIK
        Ganguan keseimbangan kepala janin dan panggul
        • CPD absolut : perbedaan antara kepala janin dengan panggul ibu sedemikian rupa sehingga menghalangi terjadinya persalinan per vaginam dalam kondisi optimal sekalipun
        • CPD relatif : jika akibat kelainan letak, kelainan posisi atau kelainan defleksi sedemikian rupa sehingga menghalangi persalinan per vaginam.
        Kurangnya diameter panggul dapat menyebabkan distosia.
        Kesempitan panggul dapat terjadi pada : pintu atas panggul, bidang tengah panggul pintu bawah panggul atau kombinasi diantaranya.

        KESEMPITAN PINTU ATAS PANGGULPAP

        Pintu atas panggul dinyatakan sempit bila ukuran
        • Ø antero-posterior terpendek < 10 cm
        • Ø tranversal terbesar < 12 cm
        Perkiraan Ø AP – PAP dilakukan dengan mengukur Conjugata Diagonalis secara manual (VT) dan kemudian dikurangi 1.5 cm ; kesempitan PAP ditegakkan bila ukuran CD < 11.5 cm.

        image
        Mengukur Conjugata Diagonalis

        Pada kehamilan aterm, ukuran rata-rata Ø biparietal - BPD 9.5 – 9.8 cm. Sehingga kepala janin yang normal tidak mungkin dapat melewati  panggul bila Ø AP – PAP < 10 cm.
        Perlu diingat bahwa ibu yang bertubuh kecil, biasanya memiliki panggul yang kecil namun anak dalam kandungan ibu yang dimaksud biasanya juga kecil.
        Dalam keadaan normal, bila ketuban masih utuh dilatasi servik dibantu pula dengan tekanan hidrostatik pada selaput ketuban atau bila sudah pecah, dilatasi servik terjadi akibat tekanan langsung bagian terendah janin terhadap servik serta penebalan fundus uteri dan penipisan segmen bawah rahim..
        Pada kasus kesempitan panggul dimana kepala janin masih berada diatas PAP, semua tekanan hidrostatik disalurkan pada bagian selaput ketuban yang berada diatas ostium uteri internum sehingga sering terjadi peristiwa Ketuban Pecah Dini-KPD pada kasus kesempitan PAP.
        Setelah ketuban pecah, tidak adanya tekanan hidrostatik pada selaput ketuban pada daerah servik dan Segmen Bawah Rahim menyebabkan kontraksi uterus menjadi tidak efektif bagi jalannya persalinan normal.
        Kesempitan PAP merupakan predisposisi terjadinya kelainan presentasi.
        Pada wanita dengan kesempitan panggul, angka kejadian letak muka dan letak lintang meningkat 3 kali lipat dan angka kejadian prolapsus talipusat meningkat 5 – 6 kali lipat.

        KESEMPITAN BIDANG TENGAH PANGGUL – BTP
        Kejadian ini lebih sering terjadi dibandingkan kesempitan PAP
        Kejadian ini sering menyebabkan kejadian “deep tranverse arrest” pada perjalanan persalinan dengan posisio occipitalis posterior, sebuah gangguan putar paksi dalam akibat kesempitan BTP.
        Bidang obstetrik BTP terbentang dari tepi bawah simfisis pubis melalui spina ischiadica dan mencapai sacrum didekat pertemuan antara vertebra sacralis 4 – 5.
        Garis penghubung kedua spina ischiadica membagi BTP menjadi bagian anterior dan bagian posterior.
        Batas anterior bagian anterior BTP adalah tepi bawah Simfisis Pubis dan batas lateralnya adalah rami ischiopubic.
        Batas dorsal bagian posterior BTP adalah sacrum dan batas lateralnya adalah ligamentum sacrospinosum.

        Ukuran rata-rata BTP:
        • Ø tranversal (interspinous) = 10.5 cm
        • Ø AP (tepi bawah SP sampai pertemuan S4 – S5) = 11.5 cm
        • Ø Sagitalis Posterior - DSP (titik pertengahan Ø interspinous dengan pertemuan S4 – S5) = 5 cm
        Kesempitan BTP tidak dapat dinyatakan secara tegas seperti kesempitan PAP
        BTP diperkirakan mengalami kesempitan bila penjumlahan  dari Ø Interspinous + DSP ( normal 10.5cm + 5cm = 15.5 cm) <13.5 cm.
        Dengan demikian maka BTP diduga mengalami penyempitan bila Ø interspinous < 10 cm dan bila < 8 cm, dinyatakan bahwa pasti terdapat kesempitan pada BTP.
        Dugaan adanya kesempitan BTP adalah bila pada pemeriksaan panggul teraba adanya penonjolan spina ischiadica yang menyolok.

        KESEMPITAN PINTU BAWAH PANGGUL – PBP
        Terjadi kesempitan pada PBP bila Ø intertuberosa < 8 cm.
        PBP berbentuk dua buah segitiga yang memiliki satu sisi bersama (berupa distansia intertuberous) dan tidak terletak pada bidang yang sama.
        • Apex segitiga anterior permukaan posterior arcus pubis.
        • Apex segitiga posterior ujung vertebra sacralis terakhir ( bukan ujung coccyx).
        Berkurangnya nilai distansia intertuberosa menyebabkan sempitnya segitiga anterior sehingga pada kala II, kepala terdorong lebih kearah posterior dengan konskuensi dapat terjadinya robekan perineum yang luas.
        Distosia akibat kesempitan PBP saja jarang terjadi oleh karena kesempitan PBP hampir selalu disertai dengan kesempitan BTP.

        FRAKTURA PANGGUL dan KONTRAKTUR
        Trauma panggul akibat cedera kecelakaan lalulintas sering terjadi sehingga dapat terjadi gangguan pada bentuk dan ukuran panggul.
        Riwayat adanya cedera panggul membutuhkan evaluasi lebih lanjut pada kehamilan lanjut.
        Tinggi badan, cara berjalan, bentuk perut “gantung”, kelainan bentuk tulang punggung (skoliosis) dapat mendorong pemikiran adanya kecurigaan pada kesempitan panggul.
        image
        Perut Gantung (Pendular Abdomen)

        PENILAIAN KAPASITAS PANGGUL

        1. Pengukuran Conjugata Diagonalis dengan pemeriksaan panggul
        2. Pengukuran diameter interspinarum
        3. Penonjolan spina ischiadica
        4. Sudut arcus pubis
        5. [ Pemeriksan X-ray pelvimetri ]
        6. [ Computed Tomography Scanning ]
        7. [ Magnetic Resonance Imaging ]
        DISTOSIA AKIBAT JALAN LAHIR LUNAK
        Abnormalitas anatomik organ reproduksi wanita dapat menyebabkan abnormalitas atau gangguan jalannya proses persalinan.
        Kelainan dapat meliputi : uterus- servix – vagina – vesika urinaria – rektum dan masa dalam adneksa serta parametrium (kista ovarium, mioma uteri).

        Kelainan Uterus:
        • Kelainan bentuk uterus (uterus bicornu, uterus septus)
        • Prolapsus uteri
        • Torsi uterus
        Kelainan servix uteri: jaringan sikatrik yang menyebabkan stenosis servik
        Kelainan vulva - vagina : Septum vagina, sikatrik vulva dan vagina , “Giant Condyloma Accuminata”
        Vesica urinaria dan rectum yang penuh dapat menyebabkan distosia
        Masa adneksa : mioma uteri dibagian servik, kista ovarium
         

        RUJUKAN :
        1. Cunningham FG et al : Dystocia – Abnormal Labor in “ Williams Obstetrics” , 22nd ed, McGraw-Hill, 2005
        2. Critchclow CW, Leet TL, Beneditti TJ et al: Risk factors and infant outcomes associated with umbilical cord prolapse: A population-base case control study among births in Washington state. Am J Obstet Gynecol 170;163, 1994
        3. Sporri S, Hanggi W, Brahetti A et al: Pelvimetry by magnetic resonance imaging as a diagnostic tool to evaluate dystocia. Obstet Gynecol 89;902, 1997

        Sabtu, 17 September 2011

        DISTOSIA AKIBAT GANGGUAN pada TENAGA PERSALINAN

        Distosia merupakan akibat dari 3 gangguan atau kombinasi antara :
        1. Kelainan Tenaga PersalinanPOWER Kekuatan His yang tidak memadai atau tidak terkordinasi dengan baik agar dapat terjadi dilatasi dan pendataran servik (disfungsi uterus) serta gangguan kontraksi otot pada kala II.
        2. Kelainan Presentasi-Posisi dan Perkembangan janinPASSANGER
        3. Kelainan pada jalan lahir PASSAGE
          1. Kelainan pada Tulang Panggul (kesempitan panggul)
          2. Kelainan Jaringan Lunak sekitar jalan lahir yang menghalangi desensus janin
        ABNORMALITAS TENAGA PERSALINAN
        Dilatasi servik dan propulsi serta ekspulsi janin dimungkinkan oleh adanya HIS dan KEMAMPUAN MENERAN pada persalinan kala II.
        Kurangnya intensitas satu atau kedua faktor diatas akan menyebabkan perjalanan partus yang terhambat atau terganggu.
        Diagnosa disfungsi uterus pada kala I fase laten sulit ditegakkan dan umumnya dibuat secara retrospektif.
        Salah satu kesalahan yang sering dilakukan adalah terapi disfungsi uterus pada pasien yang masih belum inpartu.
        3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam penatalaksanaan disfungsi uterus:
        1. Membiarkan berlangsungnya partus lama tanpa tindakan akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas perinatal.
        2. Oksitosin drip dapat digunakan untuk mengatasi beberapa jenis disfungsi uterus.
        3. Pada kasus dengan kegagalan atau terdapat kontra-indikasi oksitosin drip, pilihan untuk melakukan SEKSIO SESAR lebih utama dibandingkan pilihan persalinan dengan ekstrasi cunam tengah yang secara teknis sulit dikerjakan.
        JENIS DISFUNGSI UTERUS
        Kontraksi uterus pada persalinan normal ditandai dengan aktivitas miometrium yang bersifat gradual, dengan kontraksi terkuat dan berlangsung lama dibagian fundus uteri dan menuju kearah servik kekuatan kontraksi uterus secara bertahap menjadi semakin berkurang.
        Caldeyro-Barcia dkk (1950) dari Montevideo Uruguay menyatakan bahwa terdapat perbedaan waktu dari onset kontraksi uterus di daerah fundus uteri dan daerah pertengahan corpus uteri serta pada SBR.
        Larks (1960) menjelaskan bahwa rangsangan yang berawal di bagian cornu akan diikuti oleh rangsangan berikutnya beberapa milidetik setelahnya, gelombang rangsangan akan saling menyatu dan diteruskan secara serentak dari fundus uteri kebagian bawah uterus.
        Agar terjadi dilatasi servik, diperlukan kekuatan kontraksi uterus sekurang-kurangnya 15 mmHg.
        Kontraksi uterus yang berlangsung secara normal dapat menimbulkan tekanan intrauterin sampai 60 mmHg.
        Dengan data diatas, maka disfungsi uterus dapat dibedakan menjadi :
        1. Disfungsi uterus HIPOTONIK :
          • Tidak ada tonus basal
          • Kontraksi uterus memiliki pola gradasi normal (synchronous) tetapi
          • Tekanan yang ditimbulkan oleh kontraksi uterus tidak cukup untuk menyebabkan terjadinya dilatasi servik.
        2. Disfungsi HIPERTONIK (“incoordinate uterine dysfunction”)
          • Basal tonus meningkat dan atau
          • Kekacauan dalam gradasi tekanan yang ditimbulkan oleh his ; akibat tekanan yang ditimbulkan oleh his di uterus bagian tengah  lebih besar daripada yang dihasilkan oleh uterus bagian fundus dan atau adanya peristiwa asinkronisme dari rangsang yang berasal dari bagian cornu uterus.
        clip_image002
        Kontraksi uterus hipotonik
        clip_image002[5]
        Kontraksi uterus hipertonik

        GANGGUAN FASE AKTIF
        Gangguan persalinan secara klinis dibagi menjadi :
        • Lebih lambat dari kemajuan persalinan yang normal (“protraction disorder”) dan atau
        • Terhentinya kemajuan persalinan (“arrest disorder”)
        • Persalinan kala I fase aktif bila dilatasi servik sudah mencapai sekurang-kurangnya 3 – 4 cm

        “Active phase arrest”
        Handa dan Laros (1993) : Active-phase arrest adalah bila dalam waktu ≥ 2 jam tidak terdapat kemajuan pada dilatasi servik
        Angka kejadian : 5% pada nulipara dengan kehamilan aterm (menurut Friedman pada tahun 1978, angka kejadian ini tidak berubah sejak tahun 1950 )
        His tidak adekwat adalah bila kekuatannya < 180 Montevideo Unit dan keadaan ini terdapat pada 80% kasus terhentinya fase aktif [“active-phase arrest”].

        “Protraction disorder”
        Definisi keadaan ini lebih sulit ditentukan.
        WHO : dalam partograf dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan “protraction” adalah kecepatan dilatasi servik < 1 cm per jam untuk waktu minimum 4 jam.
        Kriteria “active phase arrest” dan “protraction disorder” menurut American College of Obstetricians and Gynecologist dapat dilihat pada tabel berikut :

        image
        image

        Sebelum menegakkan diagnosa “arrest” selama persalinan kala  maka kedua kriteria berikut harus dipenuhi:
        1. Dilatasi servik sudah lebih dari 4 cm.
        2. His dengan kekuatan 200 Montevideo Unit selama 10 menit sudah berlangsung selama 2 jam tanpa diikuti dengan perubahan pada servik.

        GANGGUAN PERSALINAN KALA II

        Desensus kepala terutama terjadi setelah dilatasi servik lengkap.
        Sebagian besar dari “seven cardinal movement of labor” berlangsung pada kala II.
        Akibat dari adanya kelainan CPD umumnya terlihat pada kala II.
        Batas waktu kala II pada nulipara adalah 2 jam (3 jam pada kasus dengan anestesi regional) dan pada multipara adalah 1 jam (2 jam pada kasus dengan anestesi regional).

        DERAJAT PENURUNAN (station) PADA AWAL PERSALINAN
        Engagemen = desensus diameter biparietal janin sampai setinggi spina ischiadica maternal (station 0).
        Terdapat kaitan erat antara bagian terendah janin yang masih tinggi saat memasuki persalinan dengan kejadian distosia yang akan terjadi.
        Gangguan “protracted” dan atau “arrest” sering terjadi pada pasien yang memasuki persalinan dengan station lebih dari +1 .
        ETIOLOGI PENYEBAB DISFUNGSI UTERUS

        1. Analgesia epidural
        2. Chorioamnionitis
        3. Posisi ibu selama persalinan
        4. Posisi persalinan pada kala II

        Minggu, 06 September 2009

        DISTOSIA BAHU

        Angka kejadian distosia bahu tergantung pada kriteria diagnosa yang digunakan.
        Salah satu kriteria diagnosa distosia bahu adalah bila dalam persalinan pervaginam untuk melahirkan bahu harus dilakukan maneuver khusus seperti traksi curam bawah dan episiotomi.

        Gross dkk (1987) Dengan menggunakan kriteria diatas menyatakan bahwa dari 0.9% kejadian distosia bahu yang tercatat direkam medis, hanya 0.2% yang memenuhi kriteria diagnosa diatas.

        Spong dkk (1995) menggunakan sebuah kriteria objektif untuk menentukan adanya distosia bahu yaitu interval waktu antara lahirnya kepala dengan seluruh tubuh. Nilai normal interval waktu antara persalinan kepala dengan persalinan seluruh tubuh adalah 24 detik , pada distosia bahu 79 detik. Mereka mengusulkan bahwa distosia bahu adalah bila interval waktu tersebut lebih dari 60 detik.

        American College of Obstetrician and Gynecologist (2002) : angka kejadian distosia bahu bervariasi antara 0.6 – 1.4%.

        image

        KOMPLIKASI DISTOSIA BAHU

        KOMPLIKASI MATERNAL
        • Perdarahan pasca persalinan
        • Fistula Rectovaginal
        • Simfisiolisis atau diathesis, dengan atau tanpa “transient femoral neuropathy”
        • Robekan perineum derajat III atau IV
        • Rupture Uteri

        KOMPLIKASI JANIN
        • Brachial plexus palsy
        • Fraktura Clavicle
        • Kematian janin
        • Hipoksia janin , dengan atau tanpa kerusakan neurololgis permanen
        • Fraktura humerus
        Prediksi dan pencegahan Distosia Bahu
        Meskipun ada sejumlah faktor resiko yang sudah diketahui, prediksi secara individual sebelum distosia bahu terjadi adalah suatu hal yang tidak mungkin.

        Faktor resiko:
        Kelainan bentuk panggul, diabetes gestasional, kehamilan postmature, riwayat persalinan dengan distosia bahu dan ibu yang pendek.

        Faktor Resiko Distosia Bahu :
        1. Maternal
        • Kelainan anatomi panggul
        • Diabetes Gestational
        • Kehamilan postmatur
        • Riwayat distosia bahu
        • Tubuh ibu pendek

        2. Fetal
        • Dugaan macrosomia

        3. Masalah persalinan
        • Assisted vaginal delivery (forceps atau vacum)
        • “Protracted active phase” pada kala I persalinan
        • “Protracted” pada kala II persalinan
        Distosia bahu sering terjadi pada persalinan dengan tindakan cunam tengah atau pada gangguan persalinan kala I dan atau kala II yang memanjang.
        Ginsberg dan Moisidis (2001) : distosia bahu yang berulang terjadi pada 17% pasien.
        Rekomendasi dari American College of Obstetricians and Gynecologist (2002) untuk penatalaksanaan pasien dengan riwayat distosia bahu pada persalinan yang lalu:
        1. Perlu dilakukan evaluasi cermat terhadap perkiraan berat janin, usia kehamilan, intoleransi glukosa maternal dan tingkatan cedera janin pada kehamilan sebelumnya.
        2. Keuntungan dan kerugian untuk dilakukannya tindakan SC harus dibahas secara baik dengan pasien dan keluarganya.
        American College Of Obstetricians and Gynecologist (2002) : Penelitian yang dilakukan dengan metode evidence based menyimpulkan bahwa :
        1. Sebagian besar kasus distosia bahu tidak dapat diramalkan atau dicegah.
        2. Tindakan SC yang dilakukan pada semua pasien yang diduga mengandung janin makrosomia adalah sikap yang berlebihan, kecuali bila sudah diduga adanya kehamilan yang melebihi 5000 gram atau dugaan berat badan janin yang dikandung oleh penderita diabetes lebih dari 4500 gram.
        PENATALAKSANAAN
        1. Kesigapan penolong persalinan dalam mengatasi distosia bahu sangat diperlukan.
        2. Pertama kali yang harus dilakukan bila terjadi distosia bahu adalah melakukan traksi curam bawah sambil meminta ibu untuk meneran.
        3. Lakukan episiotomi.
        Setelah membersihkan mulut dan hidung anak, lakukan usaha untuk membebaskan bahu anterior dari simfsis pubis dengan berbagai maneuver :
        1. Tekanan ringan pada suprapubic
        2. Maneuver Mc Robert
        3. Maneuver Woods
        4. Persalinan bahu belakang
        5. Maneuver Rubin
        6. Pematahan klavikula
        7. Maneuver Zavanelli
        8. Kleidotomi
        9. Simfsiotomi
        1. Tekanan ringan pada suprapubic
        Dilakukan tekanan ringan pada daerah suprapubik dan secara bersamaan dilakukan traksi curam bawah pada kepala janin.
        image
        Tekanan ringan dilakukan oleh asisten pada daerah suprapubic saat traksi curam bawah pada kepala janin.

        2. Maneuver Mc Robert
        Tehnik ini ditemukan pertama kali oleh Gonik dkk tahun 1983 dan selanjutnya William A Mc Robert mempopulerkannya di University of Texas di Houston.
        Maneuver ini terdiri dari melepaskan kaki dari penyangga dan melakukan fleksi sehingga paha menempel pada abdomen ibu
        Tindakan ini dapat menyebabkan sacrum mendatar, rotasi simfisis pubis kearah kepala maternal dan mengurangi sudut inklinasi. Meskipun ukuran panggul tak berubah, rotasi cephalad panggul cenderung untuk membebaskan bahu depan yang terhimpit.

        image
        Maneuver Mc Robert
        Fleksi sendi lutut dan paha serta mendekatkan paha ibu pada abdomen sebaaimana terlihat pada (panah horisontal). Asisten melakukan tekanan suprapubic secara bersamaan (panah vertikal)

        image
        Analisa tindakan Maneuver Mc Robert dengan menggunakan x-ray
        Ukuran panggul tak berubah, namun terjadi rotasi cephalad pelvic sehingga bahu anterior terbebas dari simfisis pubis


        3. Maneuver Woods ( “Wood crock screw maneuver” )
        Dengan melakukan rotasi bahu posterior 1800 secara “crock screw” maka bahu anterior yang terjepit pada simfisis pubis akan terbebas.
        image
        Maneuver Wood. Tangan kanan penolong dibelakang bahu posterior janin. Bahu kemudian diputar 180 derajat sehingga bahu anterior terbebas dari tepi bawah simfisis pubis

        4. Melahirkan bahu belakang
        image
        A. Operator memasukkan tangan kedalam vagina menyusuri humerus posterior janin dan kemudian melakukan fleksi lengan posterior atas didepan dada dengan mempertahankan posisi fleksi siku
        B. Tangan janin dicekap dan lengan diluruskan melalui wajah janin
        C. Lengan posterior dilahirkan


        5. Maneuver Rubin
        Terdiri dari 2 langkah :
        (1). Mengguncang bahu anak dari satu sisi ke sisi lain dengan melakukan tekanan pada abdomen ibu, bila tidak berhasil maka dilakukan langkah berikutnya yaitu :
        (2). Tangan mencari bahu anak yang paling mudah untuk dijangkau dan kemudian ditekan kedepan kearah dada anak. Tindakan ini untuk melakukan abduksi kedua bahu anak sehingga diameter bahu mengecil dan melepaskan bahu depan dari simfisis pubisimage
        Maneuver Rubin II

        A. Diameter bahu terlihat antara kedua tanda panah
        B. Bahu anak yang paling mudah dijangkau didorong kearah dada anak sehingga diameter bahu mengecil dan membebaskan bahu anterior yang terjepit


        6. Pematahan klavikula dilakukan dengan menekan klavikula anterior kearah SP.

        7. Maneuver Zavanelli : mengembalikan kepala kedalam jalan lahir dan anak dilahirkan melalui SC.
        Memutar kepala anak menjadi occiput anterior atau posterior sesuai dengan PPL yang sudah terjadi.
        Membuat kepala anak menjadi fleksi dan secara perlahan mendorong kepala kedalam vagina.

        8. Kleidotomi : dilakukan pada janin mati yaitu dengan cara menggunting klavikula.

        9. Simfisiotomi.

        Hernandez dan Wendell (1990) menyarankan untuk melakukan serangkaian tindakan emergensi berikut ini pada kasus distosia bahu
        1. Minta bantuan – asisten , ahli anaesthesi dan ahli anaesthesi.
        2. Kosongkan vesica urinaria bila penuh.
        3. Lakukan episiotomi mediolateral luas.
        4. Lakukan tekanan suprapubic bersamaan dengan traksi curam bawah untuk melahirkan kepala.
        5. Lakukan maneuver Mc Robert dengan bantuan 2 asisten.
        Sebagian besar kasus distosia bahu dapat diatasi dengan serangkaian tindakan diatas. Bila tidak, maka rangkaian tindakan lanjutan berikut ini harus dikerjakan :
        1. Wood corkscrew maneuver
        2. Persalinan bahu posterior
        3. Tehnik-tehnik lain yang sudah dikemukakan diatas.
        Tak ada maneuver terbaik diantara maneuver-maneuver yang sudah disebutkan diatas, namun tindakan dengan maneuver Mc Robert sebagai pilihan utama adalah sangat beralasan.

        Rujukan
        1. American College of Obstetrician and Gynecologist : Shoulder dystocia. Practice Bulettin No 40, November 2002
        2. Ferguson JE, Newberry YG, DeAngelis GA et al: The fetal-pelvic index has minimal utility in predicting fetal-pelvic disproportion.Am J Obstet Gynecol 179;1186, 1998
        3. Gherman RB,Ouzounian JG,Goodwin TM: Obstetric maneuvers for shoulder dystocia and associated fetal morbidity. Am J Obstet Gynecol 178:1126, 1998
        4. Gherman RB,Ouzounian JG,Satin AJ et al: A comparisson of shoulder dystocia-associated transient and permanent brachial plexus palsies . Obstet Gynecol 95:43,2003
        5. Hernandez C, Wendell GD: Shoulder dystocia. In Pitki RM (ed) Clinical Obstetrics and Gynecology Vol XXXIII. Hagerstown Pa,Lippincott 1990, p526
        6. Jennet RJ, Tarby TJ: Disuse osteoporosis as evidence of brachial plexus palsy due to intrauterine fetal maladaptation. Am J Obstet Gyncol 185:236, 2001
        7. Jennet RJ, Tarby TJ, Krauss RL : Erb’s palsy contrast with Klumpke’s and total palsy: Different mechanisme are involved. Am J Obstet Gyncol 186:1216, 2002
        8. Lam MH, Wong GY, Lao TT: Reappraisal of neonatal clavicular fracture : Relationship between infant size and neonatal morbidity Obstet Gynecol 100:115, 2002
        9. Llewelyn-Jones : Obstetrics and Gynecology 7th ed. Mosby, 1999
        10. Spong CY, Beal M,Rodrigues D,et al: An onjective definition of shoulder dystocia : Prolonged head-to-body delivery intervals and/or the use of ancillary obstetric maneuvers. Obstet Gyncol 86;433, 1995

        Rabu, 02 September 2009

        PENATALAKSANAAN KALA III

        Persalinan kala I dan II beakhir , maka KALA III akan mulai terjadi.
        Pada kasus yang sudah diyakini bahwa ini merupakan persalinan pada kehamilan tunggal, maka antisipasi terhadap jalannya persalinan kala III sudah dipersiapkan menjelang akhir kala II.
        Dalam keadaan normal , pada saat “crowning” atau setelah bahu depan lahir, disuntikkan oksitosin intramuskular sebanyak 5 unit. Oksitosin bekerja dalam waktu 2 – 3 menit sehingga penyuntikan ini dapat menurunkan rsiko terjadinya perdarahan pasca persalinan.
        Bila injeksi dilakukan saat “crowning” maka sisa proses persalinan selanjutnya akan berlangsung tidak secara tergesa-gesa, oksitosin akan menunjuuakn efeknya saat persalinan kala II berakhir sempurna.

        clip_image002

        Plasenta selanjutnya akan turun dari segmen bawah uterus seperti bentuknya. Tinggi fundus uteri naik diatas pusat, mengeras .
        Setelah plasenta lahir segmen bawah uterus kembali kosong, fundus uteri turun dan mengeras oleh karena mengalami kontraksi.

        Melahirkan plasenta dilakukan pada posisi dorsal.
        1. Tinggi dan konsistensi fundus ditentukan secara baik. Tindakan melakukan masase fundus uteri hanya akan menyebabkan kontraksi uterus yang iregular sehinga plasenta hanya terlepas sebagian dan menyebabkan perdarahan.
        2. Pindahkan klem talipusat mendekati vulva
        3. Persiapkan wadah plasenta
        4. Tanda lepasnya plasenta :
          • Fundus uteri membulat dan naik
          • Perdarahan per vaginam secara tiba-tiba
          • Talipusat didepan memanjang
          1. Plasenta yang sudah terlepas dikeluarkan dengan menarik talipusat secara terkendali saat ada kontraksi uterus dan menahan bagian bawah uterus ke arah kepala pasien (maneuver Brandt Andrew)
          2. Saat plasenta terlihat didepan vulva, dengan kedua telapak tangan lahirkan plasenta dengan gerakan memuntir agar selaput amnion dapat lahir seluruhnya dan tidak ada yang tertinggal
          3. Lakukan masase uterus fundus utnuk menimbulkan kontraksi uterus
          4. Inspeksi vulva dan jalan lahir untuk melihat kemungkinan adanya robekan jalan lahir
          5. Periksa plasenta

          Selasa, 01 September 2009

          PERTOLONGAN PERSALINAN KALA II

          Pada awal kala II (dilatasi servik lengkap), terdapat reflek meneran dari ibu pada tiap kontraksi uterus.
          Tekanan abdomen disertai dengan kontraksi uterus akan mendorong janin keluar dari jalan lahir.
          Pada kala II, kemajuan persalinan ditentukan berdasarkan derajat desensus .
          Pada saat bagian terendah janin berada setinggi spina ischiadica maka dikatakan penurunan pada stasion 0.
          Pada primigravida, umumnya kala II berlangsung selama ± 50 menit dan pada multigravida ± 20 menit. 
          Pimpinan kala II dimulai saat terjadi "crowning" ; kulit kepala janin sudah meregang perineum dengan diameter sekitar 5 cm.


          clip_image002





          MEKANISME PERSALINAN NORMAL
          Selama proses persalinan, janin melakukan serangkaian gerakan untuk melewati panggul [“seven cardinal movements of labor”] yang terdiri dari :
          1. Engagemen
          2. Fleksi
          3. Desensus
          4. Putar paksi dalam
          5. Ekstensi
          6. Putar paksi luar
          7. Ekspulsi
          clip_image004

          Bahu dicekap dan tubuh dilahirkan kearah os pubis. Tindakan ini kadang dapat dibantu dengan membawa bahu kearah belakang terlebih dahulu baru kemudian kearah atas. Tubuh dan tungkai dilahirkan dengan mudah.
          Mulut dan hidung dibersihkan. Umumnya anak akan segera menangis dan diletakkan diantara tungkai ibu dan kemudian dilakukan pemotongan talipusat.
          Setelah bahu depan lahir, dilakukan traksi curam atas kepala kearah simfisis pubis. Tindakan ini memungkinkan bahu depan bebas dari perineum dan dapat dilahirkan
          Perineum sering mengalami cedera akibat persalinan bahu dan khususnya bila persalinan dikerjakan secara terburu – buru dan tidak memperhatikan adanya kontraksi uterus.

          RESTITUSI sekarang terjadi dan kemudian terjadi Putar Paksi Luar akibat bahu yang sedang memasuki panggul.
          Kepala dicekap, jari-jari tangan kiri didekat dagu dan rahang dan jaring tangan kanan dibawah oksiput.
          Dilakukan traksi kepala kearah anus untuk membebaskan bahu depan dari tepi bawah simfisis
          clip_image006